Rabu, 13 Januari 2010

Satgas Mafia Peradilan

Oleh Martin Hutabarat

Belum lama ini, pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) atau tim antimafia peradilan. Itu memang bisa menimbulkan secercah harapan bagi masyarakat akan adanya perubahan dalam penegakan hukum di negara kita, termasuk pemberantasan "makelar kasus" ("markus").
Tapi, penulis tidak terlalu optimistis dengan pembentukan tim tersebut. Mengapa? Sebab, itu hanya pengulangan terhadap tekad pemerintah lima tahun yang lalu. Lima tahun yang lalu, pemerintah sudah menyatakan akan memberantas habis mafia peradilan dan penegakan hukum yang akan dipimpin sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hasilnya apa? Lima tahun telah berlalu, tapi dalam program 100 hari ini rakyat tidak tahu apa hasilnya, kecuali hanya mendengar dan melihat di televisi dan media massa kasus Century, kasus KPK vs kepolisian dan kejaksaan, kasus Anggoro dan sebagainya. Padahal, pemerintahan periode kedua ini merupakan kesempatan bagi SBY untuk melanjutkan apa yang telah diprogramkan, terutama dalam penegakan hukum.
Kenyataannya tidak begitu. Apa yang dijanjikan lima tahun yang lalu itu sama sekali tidak ada buktinya. Malah sebaliknya, terjadi arogansi kekuasaan dan penginjak-injakan hukum serta meningkatnya "markus". Itulah yang ada di hadapan kita.
Kalau sekarang dibuat satgas-satgas lagi, apa artinya? Dipimpin Presiden SBY saja tidak berhasil, apalagi dipimpin satgas. Sebenarnya, kalau mau serius memberantas mafia peradilan dan memberantas korupsi, tanpa satgas pun bisa berjalan kalau seluruh aparat yang ada bekerja efektif. Dengan kata lain, bagaimana Presiden SBY memimpin kepolisian, memimpin kejaksaan dan aparat yang lain agar bekerja serius melakukan penegakan hukum yang benar.
Sebenarnya ini masalah iktikad (kemauan dan semangat) dan ketegasan untuk berbuat. Kalau sekadar membuat satgas, nanti kalau satgas ini tidak efektif, bisa saja dibuat satgas lagi. Kalau ini yang terjadi, itu hanya mengaburkan inti persoalan. Penegakan hukum di negara kita memang merupakan persoalan yang masih jauh, masih panjang.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga otonom adalah kehendak rakyat. Sebab, rakyat melihat aparat pemerintah yang ada-kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan lainnya-tidak efektif dalam menegakkan hukum.
Pada saat KPK menangkap gubernur-gubernur, pejabat eselon I, mantan menteri, para pengusaha, dan para elite politik, tidak terlalu ada perlawanan. Tapi, begitu KPK menyentuh aparat penyidik yang lain, maka ada perlawanan terhadap KPK. Ini salah satu yang menunjukkan bahwa ternyata sindikat dan mafia peradilan tidak independen, tapi saling tergantung dengan kekuasaan yang ada.
Ke depan, KPK harus terus kita dukung untuk melakukan tugasnya memberantas korupsi. Kita tidak ingin KPK diintervensi pemerintah. Sekarang ini ada kesan satgas-satgas yang dibentuk pemerintah ini mau mengintervensi KPK. Satgas itu aparat pemerintah, jadi tidak perlu mengoordinasi kegiatan KPK. Jangan sampai satgas itu memosisikan diri seolah-olah mau mengoordinasi kegiatan-kegiatan KPK. Satgas atau tim penegakan hukum itu bisa bekerja dengan aparat pemerintah untuk memberantas mafia peradilan, tanpa harus mengintervensi KPK.
Adanya koordinasi di antara aparat penegak hukum ini baik. Tapi, ada juga kelemahannya kalau ini menjadi alat untuk memilah-milah mana yang perlu diusut dan mana yang tidak. Satgas harus berfokus pada upaya mengektifkan aparatus institusi hukum yang ada, termasuk di peradilan, tempat bersarangnya "markus".
Kalau kita mau memberantas "markus", salah satu yang paling penting, perhatian kita harus terfokus pada lembaga peradilan. Lembaga peradilan harus objektif dalam mengatur perkara, sejak penyidikan sampai penuntutan. Masyarakat ingin melihat bahwa titik akhir pengadilan itu objektif. Tapi, karena mata rantai ini semua saling berhubungan dan para "markus" berperan, maka terjadilah mafia peradilan.
Tahun 2010 ini penulis tidak terlalu optimistis akan ada perubahan yang signifikan dalam penegakan hukum. Retorika masih akan banyak kita lihat. Satu-satunya harapan kita adalah tingkat kesadaran masyarakat, termasuk pers, untuk melakukan kontrol terhadap penegakan hukum. Tapi, pers juga harus objektif, jangan mandul karena ada pesan sponsor. Televisi yang "terkontaminasi" oleh kasus Century, misalnya, tidak akan mendapat simpati dari publik.
Sebenarnya, debat-debat di televisi itu sangat positif, bisa mencerdaskan masyarakat. Itu pula yang mendorong munculnya reaksi penolakan terhadap rekayasa Bibit-Chandra (KPK). Munculnya pembentukan opini publik itu merupakan hasil dari diskusi-diskusi di media massa. Facebooker, misalnya, ke depan akan menjadi fenomena baru.
Kasus Century ini menjadi soal yang berkepanjangan. Ini cermin ketidakmampuan dan ketidakberanian pemerintah untuk menyatakan, "Sayalah yang bertanggung jawab dalam hal ini." Kalau sejak awak Presiden SBY menyatakan, "Ini adalah pembantu-pembantu saya yang mau berusaha untuk menyelamatkan keadaan ekonomi negara. Sayalah yang bertanggung jawab," maka kasus Century tidak akan berkepanjangan seperti sekarang ini. Bagi masyarakat, pemimpin itu ya seperti itu: mempunyai keberanian untuk mengambil sikap dan bertanggung jawab.
Dalam soal mobil mewah, misalnya, tidak perlu Presiden SBY mengatakan tidak tahu soal mobil mewah. Orang jadi tertawa mendengarnya karena ada yang aneh dalam pemerintahan ini. Seharusnya Presiden SBY cukup memanggil (kalau dia tidak tahu) pihak yang terkait agar itu tidak dilakukan. Kemudian, juru bicara Presiden SBY menjelaskan bahwa itu tidak pantas dilakukan pada saat rakyat sedang sulit.
Mestinya, dalam 100 hari ini rakyat disadarkan bahwa ada bahaya jika kita tidak siap menghadapi perdagangan bebas dengan China (AFTA-CAFTA). Tapi, Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian tidak pernah mempersiapkan perdagangan dan dunia industri kita menghadapi masalah ini. Kalau bulan depan barang-barang China membanjiri pasar kita, habislah kita. Jumlah penganggur akan makin meningkat.
Energi kita terkuras habis untuk soal "cicak vs buaya" dan Century karena ketidaktegasan pemimpin bangsa ini. Ini indikasi bahwa pemerintah tidak mengetahui apa yang seharusnya menjadi prioritas, yang harus dijadikan isu dalam kehidupan politik, dan menjadi motivasi untuk meningkatkan pembangunan.
 
(Sumber: Suara Karya)

0 komentar:

Posting Komentar