Rabu, 13 Januari 2010

Satgas Mafia Peradilan

Oleh Martin Hutabarat

Belum lama ini, pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) atau tim antimafia peradilan. Itu memang bisa menimbulkan secercah harapan bagi masyarakat akan adanya perubahan dalam penegakan hukum di negara kita, termasuk pemberantasan "makelar kasus" ("markus").
Tapi, penulis tidak terlalu optimistis dengan pembentukan tim tersebut. Mengapa? Sebab, itu hanya pengulangan terhadap tekad pemerintah lima tahun yang lalu. Lima tahun yang lalu, pemerintah sudah menyatakan akan memberantas habis mafia peradilan dan penegakan hukum yang akan dipimpin sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hasilnya apa? Lima tahun telah berlalu, tapi dalam program 100 hari ini rakyat tidak tahu apa hasilnya, kecuali hanya mendengar dan melihat di televisi dan media massa kasus Century, kasus KPK vs kepolisian dan kejaksaan, kasus Anggoro dan sebagainya. Padahal, pemerintahan periode kedua ini merupakan kesempatan bagi SBY untuk melanjutkan apa yang telah diprogramkan, terutama dalam penegakan hukum.
Kenyataannya tidak begitu. Apa yang dijanjikan lima tahun yang lalu itu sama sekali tidak ada buktinya. Malah sebaliknya, terjadi arogansi kekuasaan dan penginjak-injakan hukum serta meningkatnya "markus". Itulah yang ada di hadapan kita.
Kalau sekarang dibuat satgas-satgas lagi, apa artinya? Dipimpin Presiden SBY saja tidak berhasil, apalagi dipimpin satgas. Sebenarnya, kalau mau serius memberantas mafia peradilan dan memberantas korupsi, tanpa satgas pun bisa berjalan kalau seluruh aparat yang ada bekerja efektif. Dengan kata lain, bagaimana Presiden SBY memimpin kepolisian, memimpin kejaksaan dan aparat yang lain agar bekerja serius melakukan penegakan hukum yang benar.
Sebenarnya ini masalah iktikad (kemauan dan semangat) dan ketegasan untuk berbuat. Kalau sekadar membuat satgas, nanti kalau satgas ini tidak efektif, bisa saja dibuat satgas lagi. Kalau ini yang terjadi, itu hanya mengaburkan inti persoalan. Penegakan hukum di negara kita memang merupakan persoalan yang masih jauh, masih panjang.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga otonom adalah kehendak rakyat. Sebab, rakyat melihat aparat pemerintah yang ada-kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan lainnya-tidak efektif dalam menegakkan hukum.
Pada saat KPK menangkap gubernur-gubernur, pejabat eselon I, mantan menteri, para pengusaha, dan para elite politik, tidak terlalu ada perlawanan. Tapi, begitu KPK menyentuh aparat penyidik yang lain, maka ada perlawanan terhadap KPK. Ini salah satu yang menunjukkan bahwa ternyata sindikat dan mafia peradilan tidak independen, tapi saling tergantung dengan kekuasaan yang ada.
Ke depan, KPK harus terus kita dukung untuk melakukan tugasnya memberantas korupsi. Kita tidak ingin KPK diintervensi pemerintah. Sekarang ini ada kesan satgas-satgas yang dibentuk pemerintah ini mau mengintervensi KPK. Satgas itu aparat pemerintah, jadi tidak perlu mengoordinasi kegiatan KPK. Jangan sampai satgas itu memosisikan diri seolah-olah mau mengoordinasi kegiatan-kegiatan KPK. Satgas atau tim penegakan hukum itu bisa bekerja dengan aparat pemerintah untuk memberantas mafia peradilan, tanpa harus mengintervensi KPK.
Adanya koordinasi di antara aparat penegak hukum ini baik. Tapi, ada juga kelemahannya kalau ini menjadi alat untuk memilah-milah mana yang perlu diusut dan mana yang tidak. Satgas harus berfokus pada upaya mengektifkan aparatus institusi hukum yang ada, termasuk di peradilan, tempat bersarangnya "markus".
Kalau kita mau memberantas "markus", salah satu yang paling penting, perhatian kita harus terfokus pada lembaga peradilan. Lembaga peradilan harus objektif dalam mengatur perkara, sejak penyidikan sampai penuntutan. Masyarakat ingin melihat bahwa titik akhir pengadilan itu objektif. Tapi, karena mata rantai ini semua saling berhubungan dan para "markus" berperan, maka terjadilah mafia peradilan.
Tahun 2010 ini penulis tidak terlalu optimistis akan ada perubahan yang signifikan dalam penegakan hukum. Retorika masih akan banyak kita lihat. Satu-satunya harapan kita adalah tingkat kesadaran masyarakat, termasuk pers, untuk melakukan kontrol terhadap penegakan hukum. Tapi, pers juga harus objektif, jangan mandul karena ada pesan sponsor. Televisi yang "terkontaminasi" oleh kasus Century, misalnya, tidak akan mendapat simpati dari publik.
Sebenarnya, debat-debat di televisi itu sangat positif, bisa mencerdaskan masyarakat. Itu pula yang mendorong munculnya reaksi penolakan terhadap rekayasa Bibit-Chandra (KPK). Munculnya pembentukan opini publik itu merupakan hasil dari diskusi-diskusi di media massa. Facebooker, misalnya, ke depan akan menjadi fenomena baru.
Kasus Century ini menjadi soal yang berkepanjangan. Ini cermin ketidakmampuan dan ketidakberanian pemerintah untuk menyatakan, "Sayalah yang bertanggung jawab dalam hal ini." Kalau sejak awak Presiden SBY menyatakan, "Ini adalah pembantu-pembantu saya yang mau berusaha untuk menyelamatkan keadaan ekonomi negara. Sayalah yang bertanggung jawab," maka kasus Century tidak akan berkepanjangan seperti sekarang ini. Bagi masyarakat, pemimpin itu ya seperti itu: mempunyai keberanian untuk mengambil sikap dan bertanggung jawab.
Dalam soal mobil mewah, misalnya, tidak perlu Presiden SBY mengatakan tidak tahu soal mobil mewah. Orang jadi tertawa mendengarnya karena ada yang aneh dalam pemerintahan ini. Seharusnya Presiden SBY cukup memanggil (kalau dia tidak tahu) pihak yang terkait agar itu tidak dilakukan. Kemudian, juru bicara Presiden SBY menjelaskan bahwa itu tidak pantas dilakukan pada saat rakyat sedang sulit.
Mestinya, dalam 100 hari ini rakyat disadarkan bahwa ada bahaya jika kita tidak siap menghadapi perdagangan bebas dengan China (AFTA-CAFTA). Tapi, Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian tidak pernah mempersiapkan perdagangan dan dunia industri kita menghadapi masalah ini. Kalau bulan depan barang-barang China membanjiri pasar kita, habislah kita. Jumlah penganggur akan makin meningkat.
Energi kita terkuras habis untuk soal "cicak vs buaya" dan Century karena ketidaktegasan pemimpin bangsa ini. Ini indikasi bahwa pemerintah tidak mengetahui apa yang seharusnya menjadi prioritas, yang harus dijadikan isu dalam kehidupan politik, dan menjadi motivasi untuk meningkatkan pembangunan.
 
(Sumber: Suara Karya)
Readmore »

Delik Prahara Pemenjaraan Artalyta

  • Oleh Muh Khamdan
KEGUNCANGAN politik pemenjaraan di Indonesia kini sedang terjadi. Artalyta Suryani alias Ayin, ternyata bisa menikmati fasilitas mewah di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu Jakarta Timur. Penghakiman publik pun mulai mengarah agar terjadi perbaikan dalam sistem pemenjaraan yang selama ini dianggap tertutup menjadi terbuka.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar akhirnya turun tangan lewat inspeksi mendadak (sidak) di beberapa rutan dan lembaga pemasyarakatan (LP). Langkahnya itu kemudian diikuti oleh personel Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. 

Satgas Antimafia Hukum, sebutan lain untuk satuan tugas itu,  sudah memperoleh banyak informasi bahwa ada ”istana” di dalam penjara yang diduga mengarah pada permainan uang antara narapidana dan oknum petugas rutan dan LP. Maka, secara sekilas pembuktian akumulasi informasi itupun terjadi bahwa di balik ketertutupan tersimpan rahasia besar adanya fasilitas khusus bagi narapidana yang diistimewakan sebagaimana di Rutan Pondok Bambu.

Ada beberapa aspek realitas ketidakadilan di seputar ramainya pemberitaan media tentang dugaan kastanisasi narapidana oleh petugas rutan dan LP. Pertama, kasus ramainya pemberitaan Rutan Pondok Bambu yang telah dominan merebut perhatian publik, pada saat yang sama justru menunjukkan adanya sistem penganggaran dan kebijakan turun-temurun yang tidak memedulikan realitas buruknya keadaan fisik dan keadaan sosial penjara.
Tanpa disadari, keterbukaan akses dunia luar masuk ke dalam penjara pada akhirnya akan membenarkan bahwa keadaan over capacity dan minimnya anggaran untuk biaya hidup narapidana harus diperbaiki.

Kedua, kasus ramainya pemberitaan yang cenderung mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa fasilitas tertentu dapat dinikmati oleh sekelumit narapidana atau tahanan, akan mengarahkan pada perlunya rumusan standar bangunan yang layak secara kemanusiaan terhadap penghuninya. Realitas itu selalu sangat multidimensional karena lingkungan fisik yang buruk jelas akan memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang.

Artinya, jika fasilitas buruk yang selama ini bertahan di penjara dan dikontraskan adanya ruangan ”hotel”, tentu pihak LP atau rutan berupaya menghadirkan sisi-sisi lain untuk membantu narapidana atau tahanan keluar dari keadaan ketertekanan dan kehidupan yang lebih sehat. Dari sinilah delik prahara kepentingan bermain.

Kita saat ini melihat betapa banyak perbedaan antara idealita dan realita yang berlangsung dalam bangunan sistem pemenjaraan. Kasus tertembaknya sipir penjara yang disusul dengan kaburnya narapidana dari LP Sukamiskin, Bandung, Minggu, Desember 2009, mengagetkan banyak kalangan. Kenyataan ini pada akhirnya menjadi contoh bahwa hampir di semua LP dan rutan di Indonesia, tekanan lingkungan baik fisik maupun sosial menjadi hal yang sangat memengaruhi napi dan tahanan untuk kabur. Pada sisi lain sistem pengamanan tidak berjalan maksimal karena terkendala anggaran dan prosedur.

Hal ini sebagaimana studi Jencks dan Mayer, The Social Consequences of Growing Up in A Poor Neighborhood (1990) yang menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang erat antara kriminalitas dan lingkungan fisik yang buruk karena menyangkut penurunan tingkat kesehatan mental bahwa tidak ada kebermaknaan hidup yang dirasakan. Ketidakbermaknaan tersebut misalnya diungkapkan oleh Menkumham bahwa  napi dan tahanan bagaikan ikan sepat yang dipaksa menghuni ruangan sempit, jangankan tidur, untuk berbaring juga susah.

Dalam kebeningan pikiran dan nurani, setiap manusia terlahirkan dalam keadaan yang suci. Keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang kiranya memiliki peran menjadikan adanya perubahan potensi menjadi buruk. Hal demikian menjadi salah satu ciri terpenting peradaban agama-agama dalam memberikan perhatiannya terhadap penghargaan hak-hak asasi manusia, melalui peningkatan kualitas diri manusia berupa tradisi keagamaan.

Berdasarkan filsafat Pancasila dan karakteristik masyarakat Indonesia yang berketuhanan, sangat dimungkinkan mobilisasi ritual keberagamaan di dalam LP dan rutan adalah representasi pembumian aspek kemanusian yang adil dan beradab sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Suatu perubahan orientasi politik pemenjaraan dari sistem hukuman berubah menjadi sistem pemasyarakatan bernuansa pembinaan.

Karena itu, kini berkembang sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (community-based corrections). hal itu sekaligus menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan dan tentunya dapat didukung dengan terjalinnya skema kerja sama sekaligus lahirnya legal formal mengenai sistem pemsyarakatan Indonesia (sipasindo) yang membutuhkan hubungan mutualisme antara narapidana, petugas, dan masyarakat. Hal ini guna mengimbangi muatan moralis dan agamais serta keterampilan hidup bagi narapidana karena cetak biru  kelahiran sistem pemasyarakatan, 27 April1964, adalah mencerdasakan kehidupan bangsa serta menyebarkan perdamaian sosial dan lingkungan dalam ide pengayoman.

Sintesis antara kebermaknaan hidup bagi narapidana dengan politik pemenjaraan demikian memiliki persamaan langkah atas lebih dulunya para narapidana dan tahanan bisa kuliah sebagaimana LP Kelas 1 Cipinang Jakarta yang telah membuka Fakultas Hukum, bekerja sama dengan Universitas Bung Karno.

Bahkan setidaknya hampir semua LP telah memiliki sekolah pembinaan. Sekolah ini terselenggara hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkumham dan  Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, yang disebut dengan program kegiatan belajar mengajar (PKBM) bagi narapidana. Namun proses yang tanpa pengawasan masyarakat karena pola ketertutupan politik pemenjaraan menjadikan program tersebut jalan di tempat.

Pidana penjara dimaksudkan agar pelaku tindak kriminalitas pidana menyadari kesalahan dan memperbaiki diri agar kembali menjadi manusia yang baik. Di sinilah terjadi kesesuaian antara model pembinaan politik pemenjaraan nasional dan konsep tobat. Karena tobat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa secara teologi. Tobat  dalam pandangan Islam misalnya, berarti rujuí atau kembali pada perbuatan-perbuatan yang baik atau lebih baik. Dalam sistem pemasyarakatan berarti mampu berinteraksi kembali dengan masyarakat setelah melaksanakan tuntutan keadilan.

Jika dilihat dari dari sudut ini, sangat ironis kenyataan interaksi sosial yang terbangun di masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap bekas narapidana atau tahanan. Ketiadaan dukungan sosial pada akhirnya menciptakan stress-full yang membuat terasingnya bekas narapidana untuk mengubah diri, yang justru akan berimplikasi negatif dalam melakukan tindakan kriminal agresif.

Tindakan agresif ini dapat dipengaruhi dua faktor dominan, yaitu karena naluri alamiah mencari kebermaknaan diri atas orang lain yang tidak ditemukan dan faktor situasional yang mendukung adanya penguatan (reinforcement) atas tindakan agresif tersebut. Sehingga sering ditemukan narapidana yang langganan keluar masuk penjara.

Mengacu pada landasan tersebut, memasukkan internalisasi kebermaknaan narapidana di tengah lingkungan sosialnya menjadi tugas berat instansi Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Pemasyarakatan. Perlu dipikirkan bagaimana menghilangkan suasana ketertekanan dengan diimbangi adanya proses pembinaan yang terintegralistik antara keterampilan dan nuansa keagamaan.

Paling tidak, realita îkeistimewaanî yang terjadi di Rutan Pondok Bambu adalah bagian dari upaya menghilangkan ketertekanan hidup narapidana secara sosial kendati belum didukung formula yang tepat sehingga dianggap sebagai penyimpangan.

(Sumber: Suara Merdeka)
Readmore »

Kiat Memberantas Mafia Peradilan

Upaya memerangi dan memberantas praktik mafia peradilan tidaklah semudah yang diucapkan karena menyangkut persoalan-persoalan yang kompleks dan ruwet. Program pemberantasan mafia peradilan hanya bisa berhasil jika ada reformasi birokrasi (institusi) dan sistem peradilan secara umum. Merupakan suatu hal yang keliru apabila ada pemikiran bahwa praktik mafia peradilan dapat diberantas dalam waktu singkat, karena sesungguhnya seperti korupsi dan penyakit masyarakat lainnya, yaitu seperti kemiskinan, pengangguran, judi, dan pelacuran tidak bisa diberantas sampai ke titik nol dalam waktu singkat.

Namun, apa yang diharapkan masyarakat adalah mengurangi praktik mafia peradilan sampai ke tingkat yang rendah, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada kinerja lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan.

Agar tidak utopis, maka program pemberantasan mafia peradilan haruslah bersifat menyeluruh dan dilakukan secara konsisten dengan melihat akar permasalahan terjadinya praktik mafia peradilan yang marak dalam sistem peradilan kita. Tindakan yang menyebabkan lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan tidak independen adalah perilaku para pencari keadilan dan kuasa hukum atau advokat yang mempengaruhi para penegak hukum termasuk hakim, untuk memenangkan perkara mereka.

Sesungguhnya kalau saja para penegak hukum termasuk hakim menolak dipengaruhi dengan cara apa pun, termasuk suap, janji-janji, hadiah dan sebagainya, maka praktek mafia peradilan tidak dapat terjadi. Sebenarnya ICJ (International Commission of Justice) sudah memutuskan praktik mafia peradilan sebagai Judicial Corruption, yang kemudian diadoptir oleh IBA (International Bar Association) dalam biannual meeting di Amsterdam tahun 2000. Tiga puluh ahli hukum dari seluruh dunia berkumpul di Geneva merumuskan Judicial Corruption, yang intinya berarti segala perbuatan, sikap dan perilaku yang menyebabkan lembaga peradilan tidak independen dan imparsial, termasuk suap, janji-janji, promosi, gratifikasi, pemakaian fasilitas umum secara keliru, penyalahgunaan wewenang, kolusi antara hakim, advokat, dan seterusnya.

Namun, daya tolak para penegak hukum termasuk hakim di Indonesia sangat lemah dengan berbagai alasan, seperti rendahnya moralitas, integritas, kredibilitas, dedikasi, profesionalisme, kompetensi, gaji, tunjangan sosial, dan dana operasional serta sistem rekrutmen dan pelatihan yang masih kental dengan unsur KKN. Akibatnya, mereka mudah terpancing untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dan mengikuti apa yang diminta atau dipesan oleh para pencari keadilan.


Rekomendasi KHN

Intervensi ekonomi dan politik paling menonjol sebagaimana dinyatakan dalam rekomendasi KHN (Komisi Hukum Nasional). Rekomendasi ini berdasarkan penelitian pemberitaan media yang dilakukan oleh Komnas HAM pada Maret 2003-Maret 2004. Adapun penyalahgunaan wewenang (abuse of power) para penegak hukum termasuk hakim, terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu Lemahnya sistem pengawasan dan minimnya anggaran, baik untuk kesejahteraan aparatur maupun operasional penegakan hukum.

Kedua hal tersebut menjadi masalah serius di tubuh lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Belum lagi faktor pencari keadilan yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara melalui cara seperti praktek suap, pemberian janji-janji, hadiah, kemudahan, kemewahan, kenyamanan dan memanfaatkan kelemahan para penegak hukum termasuk hakim. Oleh karena itu, lengkaplah semua unsur yang mendorong maraknya praktek mafia peradilan (Judicial Corruption).

Saat ini, sistem pengawasan di lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat sangat lemah dan tidak kredibel. Semangat korps sangat tinggi (spirit of the corps), sehingga mereka saling melindungi dan tidak objektif. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, Kompolnas dan Komisi Kejaksaan serta IKAHI lemah, tertutup dan tidak efisien, sehingga diperlukan pengawasan eksternal. KHN telah memberi rekomendasi di tahun 2003, untuk dibentuk "Lembaga Pengawas Pelaksanaan Disiplin Profesi Hukum" yang mengawasi lembaga-lembaga penegak hukum dan mengembangkan "Standar Minimum Disiplin Profesi Hukum Indonesia". Adapun kewenangan dari lembaga ini bersifat "superbody" yang berfungsi sebagai "rule enforcing body" yang mengawasi penegakan "Standar Minimum Disiplin profesi Hukum". Selain itu, juga berperan sebagai "rule enacting body" yang tugas dan fungsinya diatur sedemikian rupa, sehingga tidak melampaui kompetensi dewan-dewan kehormatan yang sudah ada di dalam masing-masing lembaga penegak hukum.

Pembentukan "Standar Minimum Disiplin Profesi Hukum" ini, didasarkan kepada pandangan bahwa aparat penegak hukum termasuk advokat memiliki kesamaan norma-norma moralitas. Paling tidak, itulah temuan dari penelitian dan kajian KHN di tahun 2002 yang menyimpulkan tingkat responsivitas dari dewan kehormatan hakim, jaksa, polisi dan advokat masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan suatu "superbody" yang dapat mengawasi perilaku para penegak hukum secara integral dan responsif.

Akhir kata, kiat memerangi dan memberantas mafia peradilan yang luhur ini jangan sampai gagal, sehingga diperlukan program jangka pendek dan jangka panjang yang jelas dengan memahami akar permasalahan kenapa sampai ada praktek mafia peradilan. Jangan sampai terjadi apa yang dikatakan dalam peribahasa lama "nafsu besar tenaga kurang". Semoga.

(Sumber: Suara Pembaruan)
Readmore »

Gurita Korupsi dan Satgas Citra

Gurita korupsi terus berbiak yang semakin banyak melilit bagian tubuh negara - eksekutif, legislatif dan yudikatif - yang pasti ikut memerosotkan citra pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah merasa perlu memulihkan citra dan untuk itu dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum, seperti yang dijanjikan sebagai bagian dari program 100 hari, setelah meledak perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri yang didukung Kejaksaan Agung (Kejagung).

Beberapa kalangan membuat ungkapan buruk: "Indonesia adalah surga para koruptor." Mereka mengatakan, faktanya korupsi merajalela dan terus meluas, tapi kenyataannya orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kejahatan korupsi sangat sedikit yang dihukum. Artinya, banyak dari mereka yang diduga korupsi terus melenggang dengan bebas dan berkeliaran dengan riangnya tanpa terjangkau hukum. Mungkin karena para penegak hukumnya gagal menunaikan tugas yang diharapkan publik, atau malah penegak hukumnya justru menikmati hidup dalam "surga para koruptor."

Jika banyak penegak hukum terlibat dan menikmati korupsi, mereka bukan saja membangun "kerajaan mafia peradilan" bersama aparat kehakiman, bahkan lebih dari itu ikut beternak gurita korupsi. Dan, mereka yang diduga korupsi menemukan kawan seiring bersama penegak hukum dan kehakiman. Sehingga, tak mengherankan jika banyak terdakwa korupsi divonis bebas oleh pengadilan. Lenggang bebas terdakwa menjadi contoh buruk penegakan hukum dan pengadilan.

Memang ada banyak contoh bahwa terdakwa dihukum. Mereka diputus pengadilan untuk menjalani hukuman penjara, tapi kebanyakan termasuk ringan. Sejumlah orang yang kritis terhadap vonis perkara korupsi menyebut korupsi sebagai tindak pidana ringan (tipiring).

UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang terbuka bagi kejahatan korupsi, karena tak mengandung ketentuan pembuktian terbalik. Setiap pelaku tak dituntut untuk membuktikan sendiri dari mana kekayaannya didapat. Dan, laporan kekayaan pejabat pun hanya sekadar formalitas saja. Dapat disimpulkan, tak ada efek jera dalam penegakan hukum atas perkara korupsi. Kekayaan mereka pun tetap bisa disembunyikan. Apalagi joke yang tertuju pada sistem peradilan, "kasih uang habis perkara" (KUHP) terus memuat memori banyak orang. Dan dengan itu juga, gurita korupsi akan terus berbiak, menjalar dan menyebarkan pengaruhnya ke segala penjuru.

Tapi warisan Orde Baru yang tak lekang adalah memperlakukan bank-bank negara/pemerintah sebagai "sapi perahan". Jika di masa Soeharto dikenal dengan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 144,5 triliun, kini skandal aliran dana BI ke Bank Century Rp 7,6 triliun.


Satgas Citra


Seperti yang telah dikemukakan, citra pemerintah cenderung melorot gara-gara kekisruhan antar-penegak hukum. Sehingga, merasa membutuhkan pemolesan citra tersebut.

Pertama, kampanye pemerintah untuk "ganyang mafia hukum" diusung setelah perseteruan KPK dengan Mabes Polri-Kejagung terkait sangkaan pidana terhadap Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang membangkitkan keprihatinan banyak orang baik di Jakarta maupun sejumlah daerah, terutama ketika rekaman percakapan Anggodo diperdengarkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain kampanye itu, Presiden pun membentuk Tim Delapan. Tim ini menyerahkan hasil verifikasi dan akhirnya Presiden memberikan arahan agar kasus Bibit-Chandra dihentikan, tak dibawa ke pengadilan.

Kedua, meredanya kasus Bibit-Chandra, tapi telah disusul dengan dugaan skandal Bank Century. Isu ini ibarat "bola panas" yang bergulir dan menghangatkan kembali wacana publik. Sembilan anggota DPR pun memobilisi dukungan untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki penyimpangan aliran dana ke Bank Century, dengan bekal audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Bergulirnya bola Century dari Senayan itu ternyata tak mendapatkan sikap terbuka dari sejumlah pejabat dan mantan pejabat di bidang keuangan, khususnya BI. Banyak dari mereka menjawab pertanyaan Pansus Century: tak ingat, lupa atau tak tahu. Pansus menghadapi taktik menutup diri pihak yang ditanyai.

Dalam momen politik seperti itulah Satgas anti mafia hukum dibentuk. Ia menghadapi kusutnya tali-temali birokrasi penegak hukum. Gurita korupsi di tubuh penegak hukum ini telah menumbuhkan makelar kasus (markus) untuk mengiringinya. Karena pengiring, markus bukanlah yang pokok.

Pembentukan Satgas berarti ada keadaan darurat yang membutuhkan tindakan segera. Bertindak segera, dibutuhkan wewenang yang kuat dan independen, termasuk mencopot dan menyeret pejabat atau pegawai yang terlibat mafia ke muka hukum. Tanpa itu, Satgas tak punya taring dan bisa dituding sebagai "satgas pencitraan".

Jika tujuannya adalah pencitraan, maka ia pasti menutupi realitas sebenarnya sistem peradilan dan aparatur yang menjalankannya. Dan ini juga bisa dituding menggunakan anggaran pemerintah demi kepentingan kelompoknya.
 
(Sumber: Suara Pembaruan)
Readmore »

Minggu, 10 Januari 2010

Dibalik Buku Membongkar Gurita Cikeas

Diskusi buku "Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century" karangan George Aditjondro, dapat berakhir fatal bagi demokrasi, jika buku tersebut dinilai sebagai fitnah dan dengan alasan tersebut penulisnya dimasukkan ke dalam sel. Nyatanya, buku tersebut mengundang masyarakat untuk mendiskusikan banyak hal berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Bagi para peneliti yang demen dengan data segudang, buku tersebut mungkin akan dipandang sebagai sampah, tetapi bagi mereka yang melihat betapa kuatnya orang-orang di sekitar lingkaran Cikeas, buku tersebut merupakan teks yang penting untuk memahami daya magis kekuasaan politik.

Daya tarik buku tersebut sudah tampak pada penataan halaman judulnya, yang tentu tidak pernah dibayangkan oleh penulisnya sendiri. Sama halnya dengan iklan, judul buku tersebut sudah membuka imajinasi masyarakat tentang betapa kuatnya sang pemilik kekuasaan di negeri ini. Gambaran figuratif ini tentu mengingatkan kita pada bagaimana penguasa-penguasa dunia di masa lampau memiliki potensi untuk itu. Kekuasaan memang cenderung koruptif.

Penggambaran semacam ini tidak akan ada dalam buku ilmiah menurut standar positivistik. Andaikan buku ini ditulis dengan standar tersebut, maka buku ini akan diisi dengan hal-hal yang tidak menarik minat publik. Bagi publik, metodologi yang menjadi kunci keberhasilan sebuah karya ilmiah seperti disertasi tidak penting. Begitu juga pengujian, apa lagi eksperimen, tidak perlu ada dalam buku ini.


Pemberontakan

Kecenderungan penulisan gaya George Aditjondro seperti itu dapat dilihat sebagai pemberontakan terhadap gagasan idealistik tentang ilmu sebagaimana dikembangkan banyak filsuf ilmu pengetahuan seperti David Bacon dan Charles S Peirce yang tekun membangun metodologi ilmiah. Gaya ini juga mengabaikan asumsi ilmiah yang dipegang teguh oleh para profesor kita di perguruan tinggi bahwa kebenaran hanya dapat dicapai dengan metodologi yang ketat dan pengujian empiris yang datanya tidak dapat diragukan lagi.

Namun, gaya penulisan buku yang cenderung populer ini bukan tanpa makna. Dengan mengabaikan data-data primer, gaya penulisan seperti ini justru dapat menerobos masuk ke dalam apa yang dialami dan dipikirkan masyarakat. Juga gaya ini pun dapat membuka diskusi seluas-luasnya sehingga masyarakat non-ilmiah pun dapat berbicara.

Sebagian ilmuwan pun menyadari hal tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan merupakan sebuah simbol bagi perkembangan budi yang pantas dipercaya, mereka semakin menyadari bahwa apa yang mereka kembangkan belum tentu menampilkan kebenaran. Kebenaran tidak menjadi monopoli ilmu pengetahuan, dan bahkan dapat berada di luar pertanggungjawaban metode-metode ilmiah. Di luar ilmu masih ada pengalaman seni, filsafat, dan sejarah yang tidak banyak peduli dengan metode ilmiah, namun terbuka pada pengalaman mengenai realitas.

Dengan memperhatikan respons masyarakat atas terbitnya buku Aditjondro, kita boleh berbangga bahwa kita sedang berada dalam suasana demokratis yang sangat kondusif. Lebih dari itu, kita sedang berada dalam jalan masing-masing untuk mengalami kebenaran. Mengamati bagaimana George Aditjondro berusaha membela bukunya, di tengah cercaan pada ilmuwan kita.


Tantangan Demokrasi

Ramainya diskusi atas buku George Aditjondro, hanyalah sebuah contoh tentang bagaimana opini dibangun dalam sebuah masyarakat demokratis dan bagaimana kita harus melihat kebenaran di balik argumentasi yang dikembangkan oleh pendapat yang berbeda-beda. L Wilardjo dalam opininya yang berjudul "Feyerabend von Jombang" (Kompas, 5 Januari 2010) dapat memberikan inspirasi kepada kita tentang hal ini. Jika kita benar-benar manusia demokrat kita tidak perlu kebakaran jenggot. Masyarakat demokratis hidup dari kebebasan berpendapat. Kegagalan negara totaliter justru terletak di sini.

Dengan cara lain mau dikatakan di sini bahwa masyarakat demokratis selalu didukung oleh kebiasaan untuk berpikir dengan akal sehat. Dalam perspektif local wisdom orang Flores sering dikatakan: "Jika tersinggung berarti kena". Artinya, jika reaksi kita menggebu-gebu, kita adalah orang pertama yang salah. Karena itu, menurut kebijaksanaan lokal tersebut, yang harus dipersoalkan bukanlah apa yang dikatakan tetapi apa yang dilakukan.

Tentu, pengalaman dan kesadaran publik tidaklah pernah memiliki kata akhir. Karena itu, seorang seorang demokrat pun tidak harus terbawa arus pada apa yang dikatakan publik. Pengalaman seni, filosofis, dan historis pun harus tunduk pada pertanyaan-pertanyaan kritis. Kita perlu bertanya dengan pikiran cerdas dan hati sejuk apakah proses intelektual yang dibangun di atas basis pengalaman dan kesadaran publik sebagaimana dilakukan oleh George Aditjondro dapat membangun sebuah masyarakat yang bertanggung jawab?

Saya sendiri perpendapat bahwa demokrasi dapat menumbuhkan sebuah masyarakat yang lebih bertanggung jawab jika 2 hal berikut benar-benar ada. Dua hal yang saya maksud adalah kebebasan berpendapat dan mutual control di antara warga sendiri. Dan dialog memuat kedua hal tersebut.
 
(Sumber: Suara Pembaruan) 
Readmore »

Minggu, 03 Januari 2010

Jurus Jitu Jual Parpol dan Kandidat


Judul        : Iklan Politik TV, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru
Penulis        : Akhmad Danial
Penerbit    : LKiS, Jogjakarta
Cetakan    : I (pertama), Februari 2009
Tebal Buku     : xxxiv + 264 Halaman
Peresensi    : Iqro’ Alfirdaus

Makin dekat pemilu, iklan partai politik, calon presiden dan anggota legislatif di televisi semakin marak ditayangkan seiring dengan maraknya industri televisi dan semangatnya partai untuk memenangi Pemilu 2009. Kini tidak ada batasan bagi media massa, khususnya televisi untuk menayangkan iklan politik.
Iklan politik melalui media televisi memang bukan hal yang baru lagi. Ia menunjukkan adanya modernisasi dalam kampanye politik sejak 10 tahun reformasi. Dan buku yang ditulis oleh Danial ini berupaya untuk membuktikan bahwa berpindahnya kampanye ’’dari jalan raya ke layar kaca’’ adalah fenomena modernisasi politik Indonesia pasca-reformasi. Lambat laun model kampanye politik Indonesia diyakini akan mewujud sempurna layaknya gaya kampanye Amerika Serikat.
Nyatapun, buku ini menjelaskan adanya Amerikanisasi politik di Indonesia. Sebab, mengacu kepada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa iklan politik televisi pertama kali dipakai dalam kampanye pemilu Amerika, yaitu pidato Presiden Truman pada 1948. Kemudian menjadi semakin populer sejak debat calon presiden pertama di televisi antara Kennedy dan Nixon pada 1960. Dan, sampai saat ini, menurut Pippa Norris (2000), sebagian besar praktik komunikasi politik di negara-negara non-Amerika ‘meminjam’ dari praktik yang lebih profesional di Amerika.
Namun demikian, Danial sebagai penulis buku ini juga menunjukkan bahwa, tidak sepenuhnya Indonesia ter-Amerikanisasi dalam hal berkampanye, sebab ciri khas lokal atau faktor internal seperti, peran sentral media, terutama televisi sebagai media kampanye tidak serta merta menafikan atau barangkali mendominasi kampanye jalanan dan pengerahan massa. Sebab, kecenderungan mindset akan kampanye dan pemilu adalah pesta hingga saat ini belum berubah di Indonesia.
Di era kejayaan media sekarang ini, media massa menjelma sebagai medan pertempuran utama kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan. Kalau dulu kekuatan partai diukur dari jumlah para pendukung yang ikut pawai berkampanye di jalanan, rapat umum atau pentas akbar, sekarang ukurannya adalah popularitas yang diperoleh dari tanggapan dan penilaian responden atas iklan dan berita politik di media massa.
Iklan politik tidak jauh berbeda dengan promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran atau konsumen tertentu. Hanya saja iklan politik lebih rumit daripada iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon.
Dalam kajian komunikasi politik, Danial menemukan fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Saat ini, hampir semua kampanye politik di negara-negara demokrasi bertumpu kepada kampanye lewat televisi. Indikasinya hampir seragam, yaitu  aktivitas kampanye dikemas sesuai dengan format televisi; porsi dana kampanye semakin besar; keterlibatan biro iklan atau konsultan politik dari luar partai; dan pemilu menjadi semacam kontes antar kandidat bukan lagi kontes antar partai.
Sejak pertama kali muncul di televisi tahun 1952, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Maka, penting untuk menyajikan iklan yang jujur dan mendidik, dengan informasi yang mencukupi bagi pemilih. Dengan demikian, iklan politik yang ada tidak hanya diarahkan untuk kepentingan praktis untuk meningkatkan popularitas kandidat dan kesadaran publik akan keberadaan kandidat tersebut, namun juga secara strategis mampu memberikan pendidikan politik yang etis, kritis, dan relevan dengan kepentingan dan situasi rakyat, terutama terkait dengan kebijakan publik yang ikut berdampak pada kehidupan masyarakat.
Hal penting adalah popularitas kandidat yang merupakan dampak dari iklan politik di media massa tidak otomatis menjamin elektabilitas atau keterpilihan kandidat yang bersangkutan. Iklan kampanye politik di media massa mungkin menimbulkan kesan terbiasa (familiarity) akan sosok yang diangkat.
Apa pun bentuk iklan politik yang digunakan dan disajikan oleh kandidat, akan lebih bermanfaat jika iklan tersebut diarahkan ke persaingan demokrasi yang sportif serta mendorong kreativitas pemenangan pemilu dalam meramu iklan yang mendidik dan relevan dengan kepentingan rakyat, serta membangun hubungan yang erat antara kandidat dan pemilihnya.
Hal ini menjadi tantangan  dan tugas bagi partai politik dan juga media massa untuk mampu menghasilkan model iklan kampanye politik yang tidak hanya menarik dan kreatif, namun juga mendidik dan memiliki pesan-pesan yang mudah dicerna publik serta memiliki keunikan, tidak hanya dari sosok kandidat yang diusung, namun juga isu yang diangkat.
Terkait dengan itu, sudah seharusnya liberalisasi politik sejak era reformasi 1998 yang  diikuti oleh persaingan politik harus sehat dan intens, mampu mendorong partai-partai untuk kritis dan kreatif dalam menampilkan image partai dan tokoh-tokohnya serta isu-isu prioritas yang diangkatnya dengan sisi yang unik dan berbeda dari partai-partai politik lain serta menyajikan pendidikan politik yang mencerahkan dan mampu mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihannya secara rasional.
Biar bagaimanapun, Iklan politik di televisi sangatlah penting menyedot perhatian pemirsa untuk mengenal, mempercayai seorang kandidat dari beberapa kandidat wakil rakyat hingga presiden, meskipun sejatinya tanpa iklan pun mereka akan tetap memilih partai atau kandidat yang mereka kultuskan. Dan buku ini hadir untuk meminimalisir tingkat golput di Indonesia, yaitu iklan-iklan politik televisi haruslah memiliki substansi, kritis, kreatif, jujur dan sehat agar membentuk komunikasi politk yang ideal terhadap rakyat atau masyarakat.
Readmore »

Sang Revolusioner, Pembawa Bendera Islam



Judul Buku    : Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan
Penulis        : Dr. Munzir Hitami
Penerbit    : LKiS Yogyakarta
Cetakan    : I (pertama), Januari 2009
Tebal        : xii + 286 halaman
Peresensi    : Iqro’ Alfirdaus

Peradaban-peradaban, pemikiran, persepsi dan emosi muncul sejak manusia telahir ke dunia ini. Ketika manusia telah membentuk komunitas-komunitas atau suku-suku yang melahirkan sikap primordialitas dalam interaksi sosial, saat itulah mulai terbentuk kekuatan-kekuatan kejahatan, kedzaliman, kebodohan dan penindasan.
Maka kehadiran nabi sebagai utusan Tuhan dengan bekal kitab suci-Nya memiliki peran penting dalam hal ini. Mereka diberi wahyu dan dibebani tanggung jawab yang berat untuk menyerukan kebenaran dan untuk mengajak manusia agar bisa membedakan mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah) dan menyerukan amar makruf nahi munkar. Tidak hanya mengajak manusia untuk mengenal Tuhannya semata. Tetapi juga mengajak mereka untuk membaca sekaligus memahami akan kebesaran-Nya, misalnya, tentang alam semesta beserta isinya di muka bumi.
Seorang nabi adalah revolusioner, yang memadukan dua peran, yaitu peran sebagai seorang nabi yang menerima wahyu Ilahi yang dibimbing oleh kebenaran ilahiyah dan peran seorang revolusioner atau seorang pemberontak yang membawa perubahan-perubahan radikal dalam tatanan sosial yang sudah usang dan mentrasformasikannya ke model-model dan perilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan kebenaran wahyu.
Kisah para Rasul dalam al-Qur’an memang pada umumnya membangkitkan makna perubahan. Itulah mengapa penulis berkesimpulan bahwa kisah para Rasul dalam al-Qur’an itu merupakan agen perubahan pada sejarah umat manusia. Al-Qur’an sebagai kitab suci menerangkan betapa penting para rasul dalam mengubah suatu masyarakat bangsa dari masyarakat tribal tak bermoral menjadi masyarakat yang religius dan berakhlak mulia.
Buku Revolusi Sejarah Manusia karya Munzir Hitami ini mengkaji secara detail konsep perubahan umat manusia dalam Alquran dan peran penting para rasul sebagai agen perubahan (agent of change). Alquran, meskipun bukan kitab sejarah banyak memuat informasi mengenai dinamika revolusi umat manusia. Juga jatuh-bangunnya sebuah bangsa yang disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri. Alquran dengan caranya sendiri mewartakan bagaimana sebuah masyarakat atau bangsa mengalami kemajuan pada suatu masa, dan pada masa yang lain mengalami kehancuran.
Secara garis besar telaah tentang sejarah yang dapat digali dari al-Qur’an dapat digolongkan dua macam, yakni perubahan sebagai substansi dan perubahan sebagai fenomena. Perubahan yang pertama lebih mengenai hakikat dan bentuk perubahan, sedangkan yang kedua lebih sebagai gejala dalam perjalanan masyarakat manusia dari suatu umat, baik simbol-simbol, maupun dalam bentuk ajaran-ajaran normatif.
Perubahan umat manusia dalam al-Qur’an maupun dalam realitas empiris di alam dunia ini merupakan peran penting rasul sebagai agen perubahan. Kisah para rasul dalam al-qur’an dapat berfungsi sebagai peringatan (al-Ibrah) bagi umat manusia. Selain itu, kisah tersebut juga sebagai konfirmasi (al-Tashdiq) terhadap kitab-kitab terdahulu, sehingga dimaksudkan untuk memperjelas ajaran kebenaran yang dibawakannya.
Nabi-nabi seperti Musa, Isa al-Masih, dan Muhammad Saw. adalah pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman tatanan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Inilah salah satu bagian misi penting dan mulia yang dilakukan oleh para nabi, menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap sesama manusia.
Mereka berjuang dengan gigih dan gagah berani dan mereka membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang-orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahyul, kelemahan, dan ketidaksempurnaan yang diakibatkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi, dan nafsu kebendaan
Para rasul yang digambarkan dalam kisah al-Qur’an sebagai figur atau tokoh yang lahir dari umatnya adalah pencipta sejarah. Yaitu sebagai agen perubahan dalam sejarah yang terjadi pada kurun waktu di mana peran-peran individual atau pribadi masih dominan sesuai dengan zamannya. Pesan moral yang perlu dimunculkan dari kisah tersebut ialah masyarakat zaman sekarang dapat belajar untuk menangkap berbagai cerminan dibalik simbol-simbol pengalaman umat-umat itu yang pada hakikatnya tetap hidup sepanjang zaman sehingga orang dapat bertindak secara benar pada situasi yang mirip.
Gambaran tentang perubahan yang diperankan oleh para rasul dapat membantu manusia memaknai dan mengambil pesan moralnya dalam konteks kekinian. Kita harus belajar dari semangat kisah tersebut untuk mendiagnosa kompleksitas kehancuran dan kezaliman yang terjadi saat ini. Kita meski butuh sifat ketokohan, keteladanan, serta kepemimpinan yang ditunjukkan para rasul itu ketika mereka dengan caranya sendiri menyelesaikan cobaan, rintangan dan segala bentuk kerusakan lainnya.
Kisah rasul yang diangkat dalam al-Qur’an dimaksudkan agar para pembaca dapat merenungi dan menggugah ”suatu gerakan perubahan” yang terstruktur dan terencana. Semangat kisah dalam al-Qur’an adalah menciptakan suasana lahir dan  batin seseorang untuk melahirkan inspirasi futuristik dan inisiatif yang positif. Jatuh bangunnya suatu bangsa, sangat tergantung pada pergerakan pemimpin dan kaumnya, seperti halnya kisah para rasul dalam buku ini.
Readmore »

Jenghis Khan, Musuh dan Pahlawan



Judul Buku    : Jenghis Khan (Legenda Sang Penakluk dari Mongolia)
Penulis        : John Man
Penerbit    : Pustaka Alvabet
Cetakan    : II (kedua), Desember 2008
Tebal          : 576 halaman
Peresensi    : IQRO’ ALFIRDAUS

Genghis Khan, Life, Death and Resurrection (2004) )—judul asli buku ini—merupakan salah satu tonggak kesuksesan John Man, sejarawan dan travel writer dengan ketertarikan khusus terhadap Mongolia. Dengan cepat ia menjadi salah satu sejarawan dunia yang karyanya paling banyak dibaca orang. Salah satunya adalah buku yang berjudul Jenghis Khan (Legenda Sang Penakluk dari Mongolia) ini.
Dalam buku yang memikat dan menggetarkan ini, tokoh Jenghis Khan merupakan tokoh abadi dalam sejarah: pemimpin jenius, pendiri kerajaan darat terbesar dunia—dua kali lipat luas Romawi. Kematiannya yang misterius mempertaruhkan segalanya dalam bahaya, sehingga peristiwa itu tetap dirahasiakan sampai semua ahli warisnya berhasil mengamankan daerah taklukannya. Makamnya yang tak pernah ditemukan, dengan harta karun yang dibayangkan orang berada di dalamnya, terus menjadi sasaran keingintahuan dan spekulasi.
 Kini, Jenghis Khan kerap dianggap momok, pahlawan, dan manusia setengah dewa. Bagi umat Muslim, bangsa Rusia dan Eropa, dia seorang pembunuh massal. Namun di tanah kelahirannya, bangsa Mongol memujanya sebagai bapak bangsa; bangsa China menghormatinya sebagai pendiri dinasti; dan di kedua negara tersebut para pemuja mencari berkahnya.
Buku ini lebih dari sekadar ulasan sejarah yang menarik tentang kebangkitan dan penaklukan Jenghis Khan. Penulisnya, John Man, menggunakan pengalaman langsung guna menyingkap pengaruh sang Khan yang terus mengejawantah dan lestari. Dia memiliki  ketertarikan khusus terhadap Mongolia yang membuat dirinya studi tentang bangsa Mongol pada School of Oriental and African Studies di London. Dialah penulis pertama yang menjelajahi lembah tersembunyi tempat Jenghis Khan diperkirakan wafat, dan salah satu dari sedikit orang Barat yang pernah mendaki gunung keramat tempat Jenghis mungkin dimakamkan. Hasilnya, sebuah ulasan memikat tentang sang tokoh serta pelbagai “gairah” yang melingkupinya di masa kini.
Inilah sebuah kisah Jenghis Khan yang dihidupkan kembali oleh kepiawaian seorang sejarawan besar dunia, sebuah ulasan menggetarkan yang diwarnai kepiluan, kegalauan dan kesengalan  ketika seorang raja di sebuah negeri nun jauh memiliki putri seelok mentari. Jenghis Khan meminta perawan itu. Sang raja diam-diam berkata pada putrinya: ini sebilah pisau, sangat kecil dan tajam. Sembunyikan di balik pakaianmu, dan kala waktunya tiba kau tahu yang harus kau lakukan. Ketika Jenghis berbaring bersamanya, sang putri mengeluarkan pisau itu dan mengebirinya. Jenghis berteriak saat merasakan luka itu. Orang-orang bergegas masuk, namun Jenghis hanya berkata: bawa pergi gadis ini, aku ingin tidur. Jenghis terlelap dan tak pernah bangun dari tidur itu. Tetapi, bukankah Jenghis akan menyembuhkan dirinya sendiri? Setelah pulih, ia akan terjaga dan menyelamatkan bangsanya.
John Man, penulis buku ini menuliskan sebuah fakta historis yang berpijak pada tokoh Jenghis Khan yang mengagumkan, perihal awal kehidupannya, perjuangannya meyatukan Mongolia, memerangi kerajaan Jin dan invasinya ke Timur Tengah hingga akhir kehidupannya. Walaupun, tentu saja kerahasiaan merupakan tema penting dalam buku ini, dan dua rahasia besar masih menopang kemasyhuran Jenghis pada masa kini: bagaimana dan dimana ia meninggal; serta bagaimana dan dimana ia disemayamkan. Rahasia yang pertama memberi para ahli warisnya waktu untuk menyesuaikan diri dengan kematiannya, dan waktu untuk mewujudkan impiannya akan penaklukan. Rahasia kedua menjelaskan banyak hal tentang bagaimana ia tetap hidup  dalam hati dan benak orang-orang awam hari ini.
Sejarah Jenghis Khan amat populer di seluruh dunia. Sedemikian populernya hingga sejarahnya difilmkan, ditulis sebagai buku, dan menjadi perbincangan dari masa ke masa. Salah satunya sebuah film dengan judul “Mongol” yang disutradarai Sergei Bodrov, Tamujin diperankan Tadanobu Asano, produksi 2007. Film yang diproduksi tiga negara, Kazakhstan, Rusia, dan Jerman, ini mengambil latar belakang tempat kelahiran Temujin, Mongolia. Baik gurun, padang rumput, maupun hutan merupakan tempat Temujin menjalani sejarah hidupnya.
Jenghis Khan dilahirkan dengan nama Temüjin sekitar tahun 1167, anak sulung Yesugei, ketua suku Kiyad (Kiyan). Sedangkan nama keluarga dari Yesugei adalah Borjigin (Borjigid). Temujin dinamakan seperti nama ketua musuh yang ditewaskan ayahnya.
Temujin lahir di daerah pegunungan Burhan Haldun, dekat dengan sungai Onon dan Herlen. Ia hidup berpindah-pindah layaknya seperti penduduk Turki di Asia Tengah. Saat Berumur 9 tahun, Temujin dikirimkan keluar dari sukunya karena ia akan dijodohkan dengan Borte, putri dari suku Onggirat. Ayah Temujin, Yesugei meninggal karena diracuni suku Tartar tepat pada saat ia pulang setelah mengantar Temujin ke suku Onggirat.
Temujin pun dipanggil pulang untuk menemui ayahnya. Yesugei memberi pesan kepada Temujin untuk membalaskan dendamnya dan menghancurkan suku Tartar di masa depan. Kehidupan Temujin bertambah parah setelah hak kekuasaannya sebagai penerus kepala suku direbut oleh orang lain dengan alasan umur Temujin yang masih terlalu muda. Temujin dan keluarganya diusir dari sukunya karena ia ditakuti akan merebut kembali hak kekuasaannya atas suku Borjigin. Hidup Temujin dan keluarganya sangat menderita. Dengan bekal makanan yang sangat terbatas, Ia dan adik-adiknya hidup dengan cara berburu. Pada saat ia menginjak remaja, kepala suku Borjigin mengirimkan pasukan untuk membunuh Temujin.
Temujin berhasil tertangkap dan ditawan oleh musuhnya, namun ia berhasil kabur dari tahanan dengan pertolongan orang-orang yang masih setia kepada Yesugei. Pada saat menginjak dewasa, Temujin berjuang dan mengumpulkan kekuatannya sendiri.
Temujin mempunyai teman baik yang juga merupakan saudara angkatnya, yang bernama Jamukha. Ia pernah berkali-kali ditolong oleh Jamukha, yang merupakan keturunan dari suku Jadaran. Bersama-sama dengan saudara angkatnya, Temujin berhasil merebut kembali hak kekuasaannya atas sukunya dan juga perserikatan Mongolia yang didirikan ayahnya dahulu.
Waktu demi waktu, wilayah Temujin menjadi semakin besar, yang dilakukan dengan cara menghancurkan musuh-musuhnya dan menggabungkan suku-suku dalam perserikatan Mongolia. Musuh terbesar Temujin dalam sejarah, ternyata saudara angkatnya sendiri, Jamukha, yang sering mengadu domba Temujin dengan suku-suku lainnya, termasuk ayah angkat Temujin sendiri yang bernama Wang Khan. Setelah Temujin berhasil menyisihkan musuh-musuhnya dan melaksanakan perintah almarhum ayahnya, Yesugei, ia kemudian juga berhasil membalaskan kematian nenek-moyangnya, yang dibunuh oleh kerajaan Jin. Temujin kemudian diangkat menjadi Khan dengan gelar Jenghis Khan; yang artinya "Khan dari Segala-galanya".
Nyatapun, buku yang ditulis oleh John Man ini, masih mengandung tanda tanya tentang kematian dan makam Jenghis Khan. Sebab, sejarah bangsa Mongol itu sendiri hanya sedikit yang tercatat. Bangsa Mongol merekam peristiwa sejarah secara lisan, dan diwariskan secara turun-temurun melalui cerita rakyat.
Buku ini hanya memberikan pandangan dan kita diajak untuk menafsirkan serta menebak teka-teki akhir kehidupan Jenghis Khan. Kematian Jenghis Khan dalam buku ini dijelaskan, bahwa ketika sudah berumur tua, dia dipaksa untuk memimpin pasukan untuk menghancurkan kerajaan Abbasiyah untuk kesekian kalinya, namun ketidak-cakapan para pasukan dan seringnya melakukan mabuk-mabukan memperlemah pasukan militernya. Ia meninggal dalam perjalanan dan dirahasiakan oleh panglima-panglima setianya sampai musuh berhasil ditaklukan. Kuburan Jenghis Khan dirahasiakan agar tidak dirusak oleh orang lain. Kekuasaan Mongol diwariskan kepada putra ketiganya, Ogodai Khan. Alasan Jenghis Khan menunjuk putra ketiganya untuk meneruskan tahta warisnya, disebabkan oleh keahlian yang dimiliki Ogodai Khan dalam bernegoisasi, memimpin negara dan sifatnya yang tidak sombong (tidak seperti kedua kakaknya yang sering bertempur satu sama lain).
Bagi kita yang jauh dari pusat peradaban Barat dan tak punya luka lama terhadap sepak terjang bangsa Mongol, buku ini bisa dinikmati lebih "santai" melihat kehidupan Jenghis Khan sebagai manusia biasa.
Readmore »

Meretas Hubungan Antar Agama dan Negara


Judul Buku     : Islam Syariah Vis a Vis Negara Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
Penulis           : Zuly Qodir
Penerbit          : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan          : I, Agustus, 2007
Tebal Buku     : 351 Halaman
Peresensi         : Iqro' eL. Firdauz

Akhir-akhir ini, munculnya keinginan yang cukup kuat dan apresiatif untuk menjadikan negara sebagai negara yang berlandaskan pada sebuah agama pada umumnya dan negara Islam pada khususnya, menjadi masalah yang sangat krusial dan fundamental di kalangan umat beragama. Keinginan tersebut, kadang terus berkesinambungan pada sebuah konflik yang tak berkesudahan yang menyebabkan terjadinya peperangan ideologi maupun fisik (pertumpahan darah).
Melihat kenyataan demikian, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati untuk mencegah dan melarangnya. Sebab, sudah jelas disebutkan banyak intelektual muslim, bahkan dalam kitab suci pun juga, bahwa konsep negara Islam itu tidak ada. Kemungkinan besar ketika Islam dijadikan sebuah ideologi dasar negara sepenuhnya (negara Islam), maka adanya hegemoni dan dogma-dogma antarsesama umat akan mencuat ke permukaan. Jadi, sangat naïf sekali ketika suatu kaum (kelompok) ingin menjadikan negara Islam umumnya. Padahal sudah sangat jelas disebutkan para cendekiawan bahwa “the Islamic cultural, yes, but the Islamic ideology, no”.
Selama ini, ketika kita perhatikan lebih mendalam, maka, akan tampak bahwa dari dahulu hingga sekarang, hubungan antara Islam dengan negara masih dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Mulai dari norma-norma yang berlaku sampai pada sistem yang menjadi landasannya. Di mana, negara di satu sisi ingin menjalankan pemerintahannya sendiri dan Islam pun juga ingin menerapkan syariatnya di sisi yang lain. Dengan demikian, terjadilah suatu hubungan tidak harmonis yang cenderung antara agama (Islam) dan negara berjalan pada porosnya masing-masing dan bersifat ekslusif. Bukankah antara agama dan negara harus saling mengisi, setidaknya agama itu menjadi sistem kontrol terhadap negara agar sejalan dengan konsep ajaran Islam umumnya.
Pada awalnya, terdapat tiga sistem hubungan antara keduanya yang hingga kini masih sering dipermasalahkan oleh para cendekiawan. Pertama, hubungan paralel. Dalam hal ini, terdapat suatu relasi yang tidak sejalan antara agama dan negara. Di mana, antara keduanya sama-sama jalan dan menerapkan sistem (pemerintahan) yang dimilikinya sendiri-sendiri. Agama menjalankan dan berjalan pada sistem kepentingannya sendiri. Negara pun juga demikian adanya dan hanya mementingkan keinginannya masing-masing. Sehingga terjadilah suatu konsep yang tidak sejalan dan sepaham yang kemudian antara keduanya tidak akan pernah bertemu dan bertutursapa sampai kapan pun.
Sementara, yang diinginkan banyak kalangan adalah adanya suatu hubungan dan adanya pertemuan antar-keduanya. Kedua, hubungan linier. Hampir sama dengan hubungan yang pertama, namun, ada perbedaan yang sedikit mencolok. Dalam arti bahwa antara agama dan negara itu sama-sama jalan akan tetapi pada akhirnya akan menemukan jalan kebuntuan. Dengan lain ungkapan, salah satu dari mereka akan menafikan yang lain dan akan terjadi hegemoni dan dogma-dogma bahwa ada salah satunya yang menjadi primadona (negara atau agama). Mereka hanya menganggap bahwa itulah satu-satunya yang paling benar. Padahal, masih ada yang lebih unggul darinya. Meski hal itu tidak sepenuhnya sesuai, paling tidak, ada sedikit kesesuaian. Singkat kata, di sini, masih ada pendikotomian yang sifatnya hanya mementingkan dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar (agama atau negara). Ketiga, hubungan sirkuler. Dalam hubungan ini, antara agama dan negara, sama-sama mempunyai posisi yang cukup penting dalam masyarakat. Artinya, sama-sama jalan dan mempunyai suatu hubungan yang saling mengontrol. Dengan begitu, adanya kekakuan, rigiditas, dan kekurangan, bahkan ketidaksesuaian antara keduanya dapat dikurangi dan akan berkurang yang kemudian akan tercipta suatu hubungan yang harmonis dan adanya saling keterkaitan antar-keduanya. Sehingga, hal ini dapat menjadi kontrol dan dapat saling mengisi kekurangan yang melekat pada diri masing-masing dan harus bisa menerima kekurangan-kekurangan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern.
Dengan demikian, diperlukan suatu hubungan yang cukup berarti antara agama dan negara, di mana, agama itu bisa menjadi sistem kontrol dan melengkapi kekurangan yang terdapat pada sebuah negara. Begitu juga negara bisa menjadi kontrol untuk agama, yang mana agama itu, agar tidak menjalankan keinginannya sendiri secara individu, melainkan harus ada campur tangan negara agar tercipta suatu tatanan kehidupan yang sejahtera dan berlandaskan pada agama (Islam) dan negara.
Buku ini sangat penting dibaca, bahkan dijadikan bahan acuan untuk melihat dan meninjau ulang hubungan antara agama dan ngara. Di sini, juga dijelaskan bagaimana hubungan antara keduanya yang semestinya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam realitas keberagamaan. Buku ini juga akan banyak membantu dan menjawab permasalahan yang paling krusial yang menjadi gejolak selama ini, bahwa konsep ngara yang berideologi Islam (ngara Islam) itu tidak ada dan tidak akan pernah ada. Untuk itu, tidak ada salahnya Ada membaca dan memilikinya untuk menambah khazanah pengetahuan dalam ruang lingkup relasi antar-agama dan negara yang ideal menurut Islam.
Readmore »

Lokalisasi Kopi dan Rokok di Dunia Pesantren



Judul Buku         : Kitab Kopi dan Rokok
Penulis               : Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit              : LKiS
Cetakan            : 1, Februari 2009
Tebal                 : xxv + 110 halaman
Peresensi          : Iqro’ L. Firdaus


     Karya Syaikh Ihsan Jampes berjudul asli irsyadul ikhwan fi bayanil hukmi syurbul kahwah wal dukhan (petunjuk tentang penjelasan hukum meminum kopi dan merokok) ini merupakan syarah (penjelasan) dari kitab matan (asli/origin) berjudul tadzkiratul ikhwan fi bayanil kahwah wal dukhan (penjelasan tentang kopi dan rokok) karya KH. Ahmad Dahlan
Buku ini diterjemahkan dari sebuah kitab klasik pesantren, Irsyadul ikhwan. Sebuah adaptasi puitik atas kitab Tadzkiratul ikhwan fi bayanil qahwah wal dukhan (penjelasan tentang kopi dan rokok) karya KH. Ahmad Dahlan Semarang, yang kemudian disusun menjadi bait-bait senandung bermatra rajaz (salah satu jenis syair  atau nazham) yang membedakan dengan jenis syair lainnya. Rajaz memiliki makna yang mudah dipahami, atau maknanya langsung bisa diterima, tidak bersayap atau memiliki makna ambigu yang membutuhkan multi tafsir.
Uniknya, tidak seperti  tradisi penulisan kitab kuning, di mana seorang penulis lebih memilih memberi syarah (penjelasan/komentar) atas kitab orang lain, justru bait-bait susunan Syaikh Ihsan ini disyarahi (diberi penjelasan/komentar) oleh Syaikh Ihsan sendiri.
Kitab Irsyadul ikhwan yang diterjemahkan menjadi buku Kopi dan Rokok ini, setidaknya hingga saat ini, menjadi satu-satunya buku yang mengupas seluk beluk kopi dan rokok, mulai dari sejarahnya hingga polemik tentang hukum mengonsumsinya.
Karena Irysadul ikhwan adalah kitab syarah, maka posisi Syaikh Ihsan hanya menjelaskan secara lebih luas apa yang sudah digariskan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam Tadzkiratul ikhwannya. Dalam arti tidak ada kritik, justru memperkuat argumentasi KH. Ahmad Dahlan. Misalnya, dengan mengutip pendapat-pendapat dari para ulama yang lebih klasik.
Buku yang berjudul Kitab Kopi dan Rokok ini menjelaskan bahwa antara kopi dan rokok menjadi pasangan yang integral, seakan-akan keduanya tak bisa dipisahkan. Ketika memisahkan kopi dari rokok seperti memisahkan rasa asin dari air laut, omong kosong.
Budaya minum kopi sebenarnya sudah ada dari zaman dahulu, ketika kopi di warung-warung tradisional menjadi ajang untuk mempererat hubungan antar warga dan pertukaran (take and give) informasi. Kopi memang identik dengan ngobrol, diskusi dan saat santai.
Rokok biasanya tidak lepas dari kopi sebagai teman spesialnya. Budaya rokok sambil minum kopi sudah berakar kuat di segala lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan di dunia pesantren, kopi dan rokok bukanlah suatu hal yang asing. Seakan-akan ia sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Mayoritas kyai-kyai di pesantren tentulah peminum kopi dan perokok sejati. Jika ada peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, maka para santri pun mayoritas adalah peminum kopi dan perokok sejati. Sangat jarang ada seorang kyai atau santri dalam kultur pesantren yang tidak menjadi peminum kopi dan perokok.
Mengingat polemik fatwa MUI pusat tentang haram rokok, memicu  adanya tarik-ulur antara pemerintah, pengusaha rokok, petani tembakau, konsumen rokok, ulama, organisasi kesehatan dan seluruh elemen masyarakat lainnya. Kesadaran akan pluralitas di negeri ini, mau tidak mau akan menyebabkan kontroversi tentang fatwa MUI .
Dalam konteks ini, penting kiranya buku ini sebagai referensi solutif untuk menjawab persoalan fatwa MUI tentang haram rokok yang menyebabkan kontroversial di masyarakat, ketika masyarakat masih bingung menentukan status hukum dari fatwa tersebut.
Barangkali menarik ketika Syaikh Ihsan, penulis buku ini, telah menuliskannya jauh sebelum fatwa MUI menggegerkan negeri ini. Menariknya lagi, ternyata sebagian ulama atau kiai dalam MUI sendiri, dulunya adalah para pecandu berat rokok. Bahkan, kopi dan rokok masih menjadi ”menu utama” di berbagai pesantren di Jawa. Walaupun tidak semua, tetapi mayoritas mengakui demikian adanya.
Karya ini memang dipersembahkan penulis untuk menjawab beragam persoalan yang melilit kaum pesantren tentang rokok dan kopi. Karya yang disusun dengan gaya nadham (syair/puisi) dan syarah  tergolong unik bagi kalangan pesantren. Unik karena Syaikh Ikhsan tidak hanya menjelaskan status hukum kopi dan rokok yang memang kontroversial. Tetapi juga sejarah asal-musalnya serta perkembangannya di Timur Tengah, Eropa, Amerika, bahkan sampai di Indonesia. Ini tidak biasa bagi kalangan kiai. Sebab  biasanya kitab-kitab kiai pesantren lebih menekankan pembahasan tentang status hukum fiqihnya.
Posisi hukum mengopi dan merokok tidaklah tunggal, ada yang berpendapat haram, halal, mubah, makruh bahkan bermanfaat. Hal itu tergantung illatu al-ahkam (alasan penjatuhan status hukum) atau pra kondisi dalam kasus merokok dan mengopi. Jika pra kondisinya membuat mengopi dan merokok haram, maka hukumnya haram. Sebaliknya jika pra kondisinya membuat mengopi dan merokok halal, maka hukumnya halal. Begitupun seterusnya.
Mengonsumsi kopi dan rokok, sudah menjadi kontroversi ulama sejak abad ke-10 H. Dalam pesoalan kopi, ulama yang mengharamkan kopi melihat bahwa di dalam kopi terdapat madharat (bahaya) kalau kita mengonsumsinya. Kopi berbahaya bagi mereka yang mengidap penyakit empedu, penyakit kuning, apalagi yang komplikasi dengan penyakit darah tinggi. Adapun khasiat kopi yang membawa kebaikan, yaitu bisa bermanfaat untuk membangkitkan kekuatan otak dan meningkatkan kerja pikiran, mengurangi rasa kantuk dan memiliki pengaruh terhadap otot-otot dan urat saraf sehingga aliran darah didalamnya menjadi lancar. Maka menjadi halal karena kopi bisa membangkitkan kinerja syaraf, mengurangi lemak tubuh, membunuh beberapa jenis mikroba, menghilangkan serak dan membangkitkan semangat agar tetap terjaga sampai waktu yang lama untuk beribadah.
Dari sinilah nampaknya, mengapa dalam kultur pesantren, baik kyai atau santrinya mengkonsumsi kopi dan rokok, karena haram mengkonsumsinya diarahkan hanya bagi yang jasadnya terkena kemudharatan yang karenanya kesadaran menjadi hilang. Sementara bagi mereka mengopi dan merokok dirasa memberi manfaat, misalnya, untuk menyegarkan pikiran, melegakan pernapasan dan meminimalisir tekanan psikis akibat terlalu banyak menelaah kitab-kitab kuning menjadi boleh.
Bantahan-bantahan ulama yang mengharamkan rokok berpendapat bahwa rokok merusak kesehatan, menyebabkan orang mabuk, tidak berkesadaran, baunya tidak disenangi orang lain, dan dipandang sebagai pemborosan (isyrof). Dengan kata lain, rokok membawa madharat yang bisa menghalangi ibadah.
Rokok juga bisa menjadi haram jika dapat melalaikan seseorang dari, misalnya, memberi nafkah terhadap orang-orang yang wajib dinafkahi, atau dapat melalaikan seseorang dari melakukan ibadah fardu lainnya. Hukum haram juga bisa ada jika perokok membeli rokok dengan harta yang dibutuhkan untuk nafkah keluarga.
Sedangkan yang memperbolehkan mengatakan bahwa rokok tidak najis, atau menghilangkan kesadaran. Bahkan, rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan. Bagi kelompok ini, sangat omong kosong mereka mengatakan rokok haram, baik zatnya, atau dengan mengkonsumsinya. Merokok adalah mubah (boleh). Pendapat masyhur mengatakan bahwa merokok adalah makruh. Ada juga yang mengatakan merokok boleh saja tetapi hukum makruh tetap menyertainya.
Terlepas dari itu semua, Syeikh Ikhsan menyajikan buku ini dengan proporsional. Memberikan pilihan bebas kepada pembaca untuk menjatuhkan pilihannya. Dia berhasil memposisikan kopi dan rokok secara netral, posisi hukumnya tergantung siapa yang melihat dan menilai. Itu karena posisi hukum mengopi dan merokok terjadi ikhtilaf dikalangan ulama. Jumhur ulama mayoritas berpendapat hukum mengopi dan merokok mubah. Menjadi haram dikonsumsi jika tubuh seseorang akan mendapat mudharat atau kesadarannya menjadi hilang karena mengkonsumsinya. Penulis, walaupun seorang kiai besar, tidak terkesan menggurui. Justru memberikan ruang perdebatan lanjut untuk pengamat berikutnya. Inilah sikap demokratis seorang kiai yang memberikan kebebasan berpendapat kepada santrinya. Dan, buku ini mencerminkan itu semua.
Readmore »

Ramadhan, Momentum Purifasi Diri



Judul Buku    : Meraih Berkah Ramadhan
Penulis        : HM. Madchan Anies
Penerbit    : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan    : I, Agustus 2009
Tebal          : xii + 430 hlm
Peresensi    : Iqro’ Alfirdaus
  
Menyenangkan, Ramadhan tahun ini umat muslim serempak melaksankan   ibadah puasa pada hari yang sama. Hal itu menunjukkan betapa berartinya Ramadhan bagi orang yang memahaminya. Segala kebaikan, keutamaan serta berkah, Tuhan limpahkan di dalamnya. Sehingga bagi mereka yang tahu dan memahami sifat dan keutamaan Ramadhan, kehadirannya tidak terlewatkan begitu saja tanpa memperoleh nikmatnya keberkahan itu. Mereka akan bersiap diri menyambutnya dengan melakukan berbagai amal kebaikan agar memperoleh keberuntungan yang besar. Dan mereka tak akan berpisah dengan Ramadhan, kecuali telah menyucikan ruh dan jiwanya.
Tentu merugilah kita ketika bulan Ramadhan telah di depan mata tetapi tidak menerima pengampunan dari Allah. Menyia-nyiakan kehadirannya berarti kita membuang kesempatan emas seperti yang diungkapkan oleh penulis buku ini. Padahal antara waktu siang dan malamnya dipenuhi kebaikan dan keberkahan. “Dan berpuasa itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (Al Baqarah: 184).
HM. Madchan Anies, penulis buku ini, memberikan analogi yang sangat indah: Bila di sebuah lapangan luas disebarkan emas dan mutu manikam, kemudian diumumkan kepada masyarakat ramai bahwa lapangan tersebut penuh dengan emas dan mutu manikam, dan semua yang berminat boleh mengambil sepuas-puasnya tetapi hanya dalam tempo lima menit, apa yang akan terjadi? Semua orang yang mengerti nilai emas dan mutu manikam pastilah berlomba memungutinya. Dan tentu saja sangat besar pengharapan mereka agar waktunya diperpanjang sampai sore hari. Akan tetapi, orang-orang yang tidak mengerti nilai emas dan mutu manikam tentu hanya akan menonton orang banyak yang berduyun-duyun dan berebut emas itu. Begitulah tamsil kemuliaan bulan Ramadhan dan sikap umat Islam menghadapinya.
Tak heran kemudian ketika para sahabat dalam menata kehidupannya setiap tahun, mereka membagi dua belas bulan menjadi dua bagian. Enam bulan pertama mereka memohon kepada Allah agar bisa mendapati bulan Ramadhan dan bisa menjalankan ibadah di dalamnya dengan baik. Sedangkan pada enam bulan kedua, mereka memohon kepada Allah agar puasa dan semua ibadah yang dilakukan pada bulan tersebut diterima.
Demikianlah, para sahabat menjadikan Ramadhan sebagai munthalaq (titik tolak) kurikulum kehidupannya. Bulan Ramadhan dijadikan masa pembuktian ibadah lima bulan sebelumnya, sekaligus sebagai masa persiapan menempuh hidup di enam bulan sesudahnya. Wajar bila sahabat menjadikan Ramadhan sebagai munthalaq kurikulum kehidupannya, sebab pada bulan itu Allah memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan di bulan-bulan lain.
Beberapa keistimewaan pada bulan itu adalah dibukanya pintu rahmat (surga) dan ditutupnya pintu neraka, karena pada bulan itu, Allah mensyariatkan banyak ibadah yang dapat membawa seseorang ke surga. Sebaliknya, peluang masuk ke neraka kecil, karena peluang bermaksiat kecil. Pada bulan itu juga setan dibelenggu, derajat ibadah yang dilimpat gandakan dan dosa-dosa sebelumnya dihapus. Sebab, segala macam ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan mampu menggugurkan dosa. Jika kita sudah memahami hal itu, tentunya akan segera berlomba mengisi Ramadhan dengan amal kebajikan seraya mengharap pahala berlipat seperti yang Allah janjikan. Juga memenuhi diri dengan taubat, sebab pintu ampunan dibuka lebar.
Buku ini jelas memberikan distribusi yang berguna bagi pembaca. Meskipun mulanya buku ini memang ditulis menjadi semacam panduan ceramah para da’i Ramadhan, kita dapat pula menikmatinya sebagai bahan bacaan menjelang berbuka puasa, terlebih di bulan puasa Ramadhan ini. Toh, buku ini cukup ringan, bahasanya akrab dan luwes, renungannya empuk, dan disajikan sedemikian rupa sehingga setiap tema dapat dibaca dan diselesaikan dalam sekali duduk. Selamat membaca!
Readmore »

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF



Judul Buku   : Pendidikan Islam Transformatif
Penulis         : Dr. Mahmud Arif
Penerbit       : LKiS, Yogyakarta
Cetakan       : I, Februari 2008
Tebal           : 309 Halaman
Peresensi     : Iqro' Alfirdaus

Diakui atau tidak, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam kehidupan manusia baik sebagai individu, kelompok maupun sosial-kenegaraan. Sebab, tidak meungkin suatu bangsa akan cerdas dan pintar tanpa pendidikan. Dan tidak mungkin pendidikan berjalan tanpa guru. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Guru adalah orang yang patut digugu dan ditiru, di asamping itu guru sering disebut pahlaan tanpa jasa. Itulah pandangan umum tentang pendidikan dan proses belajar mengajar khususnya dalam suatu bangsa.
Demikian juga tentang pendidikan islam yang akhir-akhir ini menjadi suatu kebutuhan paling sentral khususnya umat muslim dan masyarakat secara umum. Karena, mayoritas masyarakat indonesia adalah muslim maka hal ini menuntut mereka paling tidak bisa dan mengetahui serta paham pendidikan islam pada khususnya. Pendidikan islam adalah sebagai wadah dengan aneka warna untuk membentuk kehidupan masyarakat lebih baik dan bermoral secara islami.
Pada awal perkembangan pendidikan islam pada umumnya berlangsung secara dogmatis. Mereka menganggap bahwa semuanya harus sesuai dan mengarah terhadap kitab-kitab klasik yang dikarang oleh ulama salaf. Sehingga ketika tidak sesuai maka mereka cenderung melarang dan bahkan mengharamkan. Perbedaan pendapat bermunculan dan seringkali saling mangkafirkan satu sama lain. Dengan alasan itulah, kebanyakan masyarakat menganggap bahwa pendidikan islam terdahulu pada khususnya telah final, ideal, dan tak perlu dikaji ulang. Sehingga semuanya harus sesuai dengan hasil ijtihad para ulama klasik. Oleh sebab itu, hal ini hanya akan menjadikan pendidikan islam itu sendiri sulit berkembang dan bahkan akan mengalami ke-mandeg-an. Yang kemudian cenderung menutup diri dan bersifat tertutup (ekslusif). Sehingga yang terjadi di sini hanyalah pengulangan-pengulangan yang bersifat materi.
Akan tetapi, permasalahannya sekarang apakah pendidikan islam itu akan mampu berkutat dan berdialog dengan sekian banyak perubahan dan persoalan masyarakat secara umum, ketika menutup diri dan tidak mau menerima masukan dari luar? Bukankah sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa pada hakekatnya pendidikan islam mangandung prinsip “Al-muhafadzatu ‘alal qodimish shaalih ma’al akhdzi wal ijadi bil jadiidil ashlah“ (mempertahankan budaya lama yang masih baik dan relefan disertai dengan mengambil budaya baru yang lebih baik dan relefan). Di aman, di sini agar tetap sesuai dengan konteks yang berkembang di tengah mansyarakat. Dengan demikian, dari prinsip itulah bukankah pendidikan islam itu harus terbuka lebar dan membuka jalan demi tercapainya pendidikan islam yang transpformatif. Dalam artian bahwa pendidikan islam itu harus berifat terbuka (inklusif).
Dengan demikian, kalau pendidikan islam berifat terbuka (inklusif) maka hal ini akan menambah perkembangan dalam pendidikan islam (ilamic studies) itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kerangka analisis epistimologi yang khas dalam pendidikan islam khususnya. Ada tiga kerangka analisis epistimologi dalam pendidikan islam. Pertama, Bayani. Sumber terpokok dalam tradisi bayani ini adalah nas, teks, dan wahyu. Dalam hal ini peran akal untuk menafsirkan hal-hal tang terkait dengan persoalan keberagamaan dan pendidikn islam, sangatlah terbatas. Karena semuanaya harus sesuai dan berpdoman terhadap teks dan wahyu. Sehingga akan membentuk dan menjadikan pendidikan islam sulit menerima realitas sosial yang ada.
Kedua, Irfani. Kalau pada tradisi berfikir (keilmuan) bayani bersumber pada teks dan wahyu, namun pada tradisi irfani bersumber pada intuisi atau pengalaman langsung (direct eksperience). Akan tetapi tradisi pemikiran dan keilmuan irfani ini juga akan mengalami jalan kebuntuan. Sebab di sini hanya mengguanakan sumber pengalaman tanpa dibarengi dan disesuaikan dengan wahyu dan teks keagamaan. Ketiga, Burhani. Dalam tradisi keilmuan burhani ini adalah bersumber pada realitas (al-Waqi’), baik alam, sosial, dan humanitas. Di mana, dalam tradsisi burhani ini semuanya ditekankan pada korespondensi, yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi, juga korelasi yakni keruntutan dan keberaturan berfikir yang logis. Dan upaya terus menerus dalam rangka menemukan dan memperbaiki serta menyempurnakan tradisi berfikir pendidikan islam.
Namun, dalam realitasnya sekarang bahwa pendidikan islam khususnya, meskipun telah menggunakan tradisi keilmuan baik bayani, irfani, dan burhani masih cenderung berjalan pada porosnya masing-masing. Sehingga hal ini malah semakin membuat dan menambah keterpurukan dan ke-mandeg-an dalam pendidikan islam. Ini dikarenakan oleh tidak adanya dialog dan tutur sapa antara ketiga dimensi keilmuan tersebut.
Oleh karena itu, buku yang ditulis Dr. Mahmud Arif setebal 309 halaman ini memberikan suatu jalan dan terobosan baru dalam mewujudkan pendidikan islam transformatif. Yakni, dengan mengkomparasikan dan mengkolaborasikan antara ketiga dimensi kelimuan tersebut. Antara tradisi keilmuan bayani yang bersumber pada teks dan wahyu, dan irfani bersumber pada intusisi dan pengalaman, serta burhani yang bersumber pada realitas (al-Waqi’) di tengah masyarakat, maka akan terbentuk dan terwujud serta tercapai suatu pendidikan islam yang transformatif.
Readmore »

ASAL-USUL ALAM PIKIRAN CINA, MEMBACA AKAR TRADISI FILSAFAT CINA



Judul Buku       : Sejarah Filsafat Cina
Penulis              : Fung Yu-Lan
Penerbit            : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan            : 1, November 2007
Tebal                 : V + 458 Halaman
Peresensi           : IQRO' ALFIRDAUS

Kedudukan filsafat dalam peradaban Cina bisa disamakan dengan kedudukan agama pada peradaban-peradaban lain. Di Cina, filsafat selalu menjadi perhatian bagi setiap orang yang berpendidikan. Pada masa lalu, jika seseorang merupakan orang yang berpendidikan, maka pendidikan pertama yang ia terima adalah filsafat. Ketika anak-anak masuk sekolah, maka Buku Yang Empat (The Four Book) adalah pegangan wajib, yang terdiri dari Untaian Ajaran Confucius (Confucius Analects), Buku Mencius (Book of Mencius), Pelajaran Agung ( The Great Learning), dan Doktrin Jalan Tengah (The Doctrine of the Mean).
Dari tradisinya ini, filsafat Cina bertolak dari agama Confucianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Sebagian orang mangatakan bahwa Confucianisme adalah agama, bukan filsafat. Tetapi sesungguhnya Confucianisme itu bukanlah agama, sama halnya dengan Platonisme atau Aristotelianisme. Memang, benar dalam Buku Yang Empat yang menjadi Bibel bagi orang Cina seakan-akan Confucianisme adalah agama. Tetapi di buku tersebut tidak terdapat kisah tentang penciptaan dan tidak menyebutkan tentang surga atau neraka.
Istilah filsafat dan agama keduanya bersifat ambigu. Tetapi bagi orang Cina filsafat dan agama adalah satu-kesatuan yang utuh, yang tak dapat dipisahkan karena kehidupan adalah perjalan reflektif. Orang Cina percaya dari alam semesta pikiran mampu melahirkan konsep tentang kehidupan, konsep tentang alam semesta, dan konsep tentang pengetahuan melalui pemikiran reflektif tersebut.
Agama juga mempunyai hubungan dengan kehidupan. Dalam inti setiap agama besar ada suatu filsafat, kenyataanya, setiap agama besar adalah suatu filsafat dengan superstruktur tertentu, yang terdiri dari tahayul-tahayul, dogma-dogma, ritual-ritual, dan institusi-institusi. Jika orang memahami agama sebagai pengertian ini, yang sesungguhnya tak berbeda dengan penggunaan secara umum, maka orang melihat bahwa Confucianisme tidak bisa dimengerti sebagai sebuah agama.
Tentang Taoisme, terdapat perbedaan Taoisme sebagai filsafat, yang disebut dengan Tao chia (mahzab Tao) dengan Tao sebagai agama (Tao chiao). Ajarannya tidak hanya berbeda, tetapi bahkan kontradiktif. Taoisme sebagai filsafat mengajarkan doktrin agar manusia mengikuti alam, sedangkan Taoisme sebagai agama mengajarkan doktrin agar manusia menentang alam. Misalnya, menurut Lao Tzu dan Chuang Tzu, kehidupan yang diikuti oleh kematian adalah jalan alam, dan manusia harus mengikuti jalan alam ini dengan tenang. Tetapi ajaran utama Tao adalah prinsip dan teknik bagaimana cara menghindari kematian, yang jelas merupakan usaha menentang alam. Agama Tao memiliki jiwa ilmu pengetahuan, yang berusaha menaklukkan alam.
Ada juga perbedaan Buddhisme sebagai sebuah filsafat yang disebut Fo hsueh (Ajaran Budha) dan Buddhisme sebagai agama, yang disebut Fo chiao (agama Budha). Bagi orang Cina yang terpelajar, filsafat Budha lebih menarik daripada agama Budha. Sering sekali kita melihat rahib Budha dan rahib Tao sama-sama ikut serta dalam upacara kebaktian pemakaman Cina. Orang-orang bahkan memahami agama mereka sebagai kefilsafatan.
Menurut tradisi filsafat Cina, fungsi filsafat bukan untuk menambah pengetahuan positif (informasi yang sesuai dengan kenyataan), tetapi untuk meningkatkan taraf jiwa; suatu upaya untuk mencapai apa yang berada di luar dunia nyata saat ini, dan untuk mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi daripada nilai-nilai moral. Sehingga seorang peneliti filsafat, yakni Charles Morris pernah menyatakan bahwa filsafat Cina adalah filsafat dunia ini. Tetapi filsafat Cina tidak dapat dipahami dari hal yang bersifat lahiriah saja. Sejauh yang terkait dengan ajaran utama tradisi filsafat Cina, jika kita memahaminya dengan benar, tentu tidak dapat dikatakan bersifat dunia ini, juga tidak dapat dikatakan sepenuhnya bersifat dunia lain. Filsafat Cina adalah kedua-duanya.
Dalam buku ini, Fung Yu-Lan sebagai penulisnya mengurai dengan jelas sejarah tradisi filsafat Cina klasik hingga tradisi filsafat Cina Modern. Ia memulai pembahasannya pada masa dinasti Cina pertama Hsia (2205-1766 SM) hingga dinasti Ch’ing (1644-1911 M) di mana filsafat Cina mengalami pertumbuhan dan perkembangannya, dalam persentuhannya dengan politik, ekonomi, dan budaya.
Buku ini merupakan kajian yang komprehensif atas filsafat Cina karena dengan membacanya kita akan melihat bahwa filsafat Cina itu jauh lebih luas cakupannya daripada sekedar Confucius atau Lao Tzu, atau bahkan sekedar madzhab Confucianisme atau Taoisme yang kepadanya kedua tokoh tersebut dipertalikan.
Selama kira-kira dua puluh lima abad, para pemikir Cina telah menyentuh hampir semua pokok bahasan utama yang menjadi perhatian para filsuf Barat, dan meskipun madzhab yang sudah menjadi bagian dari mereka sering melahirkan nama yang sama, hingga beberapa abad lamanya, namun isi ideologi aktual mereka sudah sangat berubah dari satu masa ke masa yang lain. Cina adalah sebuah negeri dengan rentetan sejarah filsafatnya yang amat panjang. Tak aneh jika teks agama, Islam misalnya, terdapat hadist, “carilah ilmu meski ke negeri Cina” itu karena pada hadist itu diturunkan bahkan jauh sebelumnya telah terjadi sebuah dialektika dan kemajuan yang mencengangkan di negeri tersebut.
Readmore »

Marginalisasi Kaum Buruh di Indonesia



Judul Buku      : Teologi Buruh
Penulis             : Abdul Jalil
Tebal                : xviii + 280 halaman
Penerbit            : LkiS, Yogyakarta
Cetakan             : I, April 2008
Peresensi            : IQRO' L. FIRDAUZ

Sampai saat ini, persoalan perburuhan di Indonesia masih belum mengalami penetrasi klimak yang menggembirakan, dan rumitnya lagi terus bermunculannya masalah baru dalam tema yang sama. Pasalnya, kedudukan dan nasib para buruh selalu tragis dan menyedihkan. Kaum buruh berada di dalam kondisi yang gamang. Pada satu sisi mereka terus hidup dengan kesadaran tradisional, dan di sisi lain mereka juga dihadapkan secara langsung dengan realitas tentang praktik-praktik diskursif dan hegemonisasi kapital.
Ini bermula pada 1930-an setelah pemerintah Hindia-Belanda membuat regulasi sistem perbudakan. Hubungan kerja antara hamba dan majikan mulai bersifat kapitalistik. Dalam hubungan kerja yang bersifat kapitalistik ini pada substansinya
telah memiliki perjanjian kerja (kuli ordonasi) dimana masing-masing pihak baik buruh maupun majikan sama-sama memiliki hak dan kewajiban. Akan tetapi, dalam realitasnya pihak majikan bisa memaksakan kehendaknya kepada buruh untuk melakukan sesuatu, sementara pihak buruh tidak memiliki kekuasaan untuk menuntut sesuatu yang menjadi haknya. Sebab, mereka khawatir akan dipecat yang pada gilirannya merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya.
Para buruh atau tenaga kerja terus menerus dieksploitasi dan mereka tidak hanya mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membantu tuan atau majikannya, melainkan nasib dan masa depan mereka juga dipertaruhkan. Mereka selalu menjadi manusia-manusia pinggiran yang tak pernah jelas masa depannya. Lahirnya serikat-serikat buruh, baik pada era kemerdekaan, era Orde Baru, maupun era reformasi, yang diharapkan akam mampu memperjuangkan nasib kehidupan kaum buruh ternyata juga belum terlihat hasilnya. Kaum buruh tetap menjadi pihak yang termarginalkan yang hidup dengan segala keterbatasannya.
Demi kepentingan peningkatan produksi, kaum kapitalis melakukan eksploitasi terhadap kaum buruh. Akan tetapi, mereka tidak akan mampu melakukan eksploitasi tanpa adanya dukungan dan proteksi dari pihak negara atau pemerintah. Sebagai imbalannya, kaum kapitalis membayar pajak kepada negara yang digunakan untuk membiayai aparaturnya. Dalam upaya itu, negara melakukan hegemoni melalui aparat-aparatnya yang secara umum terdiri dari empat macam, yaitu aparat hukum, militer, pendidikan dan tokoh agama.
Di sini harus dinyatakan bahwa persoalan perburuhan pada dasarnya memang merupakan salah satu agenda sosial, politik dan ekonomi yang krusial di negara-negara modern saat ini sebab ia tidak hanya menyangkut
relasi antara para buruh dengan majikan, tetapi secara lebih luas juga mencakup persoalan sistem ekonomi dari sebuah negara dan sekaligus sistem politiknya. Ekonomi-politik suatu negara akan sangat menentukan corak dan warna dari suatu sistem perburuhan yang diberlakukan.
Persoalan perburuhan tentu sangat ditentukan oleh sistem ekonomi dunia, khususnya sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem kapitalisme, kaum buruh cenderung dan dominan diekploitasi oleh pemilik modal yang dalam hal ini adalah majikan demi menceruk profit sebanyak-banyaknya. Mereka terus diperas tenaganya untuk menghasilkan barang jadi atau sesuatu yang memiliki nilai lebih. Sayangnya, nilai lebih itu sendiri tidak kembali kepada buruh, tetapi kembali kepada pihak pengusaha (kaum kapitalis). Dalam hal ini, buruh hanya menerima upah tertentu dari majikannya, dan ironisnya, upah tersebut sama sekali tidak merepresentasikan pembagian profit dari nilai lebih yang diperoleh pihak majikan.
Tragisnya lagi, risiko pertama akibat ulah pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya justru ditanggung oleh kaum buruh. Jika ada sedikit guncangan pada perusahaan, jumlah mereka pun akan dikurangi. Dalam iklim usaha seperti ini, salah satu ukuran manajemen usaha yang baik adalah jika mampu menekan jumlah buruh sedikit mungkin, namun dengan kesetiaan dan skill kerja yang tinggi. Buruh yang sedikit kurang ahli atau kurang setia harus segera dicarikan penggantinya, dan kalau perlu dengan mesin robot atau sejenisnya. Akibatnya, jumlah pengangguran terus bertambah, dan secara politik, posisi kaum buruh cenderung semakin lemah dengan dihantui oleh perasaan khawatir akan diberhentikan, yang kemudian berimplikasi pada nasib keluarga mereka, para buruh dipaksa untuk menerima nasib sebagaimana adanya

Bagaimanapun buku ini hadir ke hadapan pembaca sebagai suguhan yang menguak dan menelusuri problem deskriptif perburuhan khususnya di Indonesia. Membaca paradigma yang menggerakkan sistemnya, dan untuk selanjutnya menawarkan konsep untuk memecahkan persoalan perburuhan baru yang lebih solid dan humanis serta mampu berlandaskan pada nilai-nilai religiusitas, yaitu melalui penelusuran norma-norma Islam secara tekstual maupun historisitas masyarakat Islam agar penanganan masalah perburuhan tetap mengacu pada fitrah manusia yang menjadi misi setiap agama mengingat fenomena yang sudah mendarah daging di kalangan para pemilik modal (kaum kapitalis) tentang sistem hegemoni kapitalisme yang menata atau men-set up kaum buruh sebagai bagian dari sistem produksi dengan metafora mesin sehingga melahirkan persepsi bahwa perusahaan adalah "mesin pencetak uang" dengan bahan bakar "keringat buruh". Upah yang diberikan kepada kaum buruh dianggap sebagai biaya yang harus disesuaikan dengan produktivitas yang dihasilkan. Maka tidak mengherankan jika nilai upah buruh yang rendah tersebut dinilai oleh pengusaha sebagai hal yang baik karena akan mendatangkan hasil yang maksimal baginya.
Oleh karena itu patut kiranya buku Teologi Buruh ini sebagai password yang bisa memecahkan persoalan tersebut berlandaskan konsep religiusitas, agar pihak buruh yang menyewakan tenaganya kepada orang lain seharusnya tdak boleh menjadi korban eksploitasi pihak yang mempekerjakannya. Dalam Islam, hubungan kerja antara majikan dan buruh dikonstruk dalam kontrak ijarah, yang memuat berbagai ketentuan kerja yang berlaku antara buruh, majikan, dan pihak ketiga serta aspek-aspek yang berlaku di dalamnya.
Dalam konsep tersebut, seorang buruh secara umum berhak mendapatkan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan kompetensinya; mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sesuai dengan pilihannya; mendapatkan perlindungan, terutama pada pekerja yang cacat, anak-anak dan pekerja perempuan; mendapatkan waktu untuk istirahat dan cuti; melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya, dengan tetap mendapatkan upah; mendapatkan keselamatan dan kesehatan kerja; memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; mendapatkan kesejahteraan, baik diri maupun keluarganya; mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh serta melakukan mogok kerja.
Meskipun secara konseptual buruh memiliki hak yang bisa menjamin kesejahteraannya dan oleh karena buruh dalam sistem ekonomi global begitu kompleks maka formulasi hukum tekstual mengenai ijarah ini perlu di kombinasikan dengan Syirkah-Inan, yakni sebuah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sebuah pekerjaan. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana, dan juga berpartisipasi dalam kerja. Kedua belah pihak berbagi dalam untung maupun rugi (profit-loss sharing).
Dengan kombinasi Syirkah-Inan-Ijarah, seorang buruh mempunyai posisi yang relatif sama dengan majikan dalam hal profit. Semakin tinggi laba yang diperoleh perusahaan maka dengan sendirinya upah mereka akan naik. Begitupun sebaliknya. Jika perusaaan mengalami kerugian maka seorang buruh pun ikut merasakan derita majikannya.
Objektivikasi teori syirkah ini adalah dengan gainsharing approach, yakni pendekatan kompensasi dengan
outcome tertentu. Sistem ini di set up sebagai bentuk berbagi keuntungan dengan pekerja atas performa dan produktivitas mereka dalam menghasilkan peningkatan laba dalam perusahaan. Dengan gainsharing system ini, problem produktivitas akan terjawab. Sebab, buruh akan cenderung mau bekerja maksimal karena hasil yang mereka terima bergantung pada produktivitas yang mereka hasilkan. Selain itu, mereka juga masih menerima upah harian yang besaran dan regulasinya menggunakan model ijarah, yang secara teoretik identik dengan Teori Marginal productivity dan Teori Bargaining. Dengan konsep perburuhan seperti itu maka problem perburuhan yang terjadi selama ini diharapkan akan bisa teratasi atau setidaknya terminimalisir.
Readmore »

Ideologi Lokalitas Tarekat Wahidiyah



Judul buku      : Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah
Penulis            : Sokhi Huda              
Tebal              : xxviii + 372 halaman
Cetakan          : I (Pertama), 2008
Penerbit          : LKiS Yogyakarta
Presensi          : Iqro’ eL. Firdaus*

    “Masuki, selami, alami dan pahami”. Begitulah kira-kira nalar ketarekatan sebagai metode untuk mengetahui dimensi esoterik yang tidak mudah didekati oleh “orang luar”. Tarekat sebagai dimensi esoterik ajaran Islam mempunyai segi-segi eksklusif menyangkut hal-hal yang bersifat rahasia (sirr). Bobot kerohaniannya yang amat dalam tentu tidak semuanya dapat dimengerti oleh orang yang hanya menekuni dimensi eksoterik ajaran Islam. Maka tidak jarang terjadi salah pengertian dari kalangan awam yang melihatnya.
    Di dunia Islam dikenal beberapa aliran tarekat besar, seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Tijaniyah, Idrisiyah dan Rifa’iyah yang merupakan anggitan dari para ulama Timur Tengah. Aliran-aliran tarekat tersebut terbanyak tumbuh berasal dari daerah Turki. Sedangkan tarekat yang merupakan produk asli Indonesia adalah Shiddiqiyah dan Wahidiyah yang cukup populer dan sekaligus kontroversial. Kedua tarekat itu muncul dan berkembang di Kediri, Jawa Timur.
    Aliran Wahidiyah yang didirikan oleh KH. Abdoel Madjid Ma’roef pada 1963 itu ternyata berkembang sebagai sebuah nilai spiritual ditengah-tengah masyarakat, bahkan tidak hanya didalam negeri, tetapi juga diluar negeri. Eksistensi Wahidiyah merupakan fenomena kultural tasawuf dalam wacana realitas sosial, keagamaan dan ilmiah. Kehadirannya dapat dibilang sebagai kontrol dan reformasi zaman umat manusia.
    Buku yang ditulis oleh Sokhi Huda ini menjelaskan bahwa sistem ajaran Wahidiyah menyediakan perangkat spiritual yang disebut Shalawat Wahidiyah. Shalawat ini (juga dengan ajarannya) merupakan produk atau susunan KH. Abdoel Madjid Ma’roef. Dia dikenal sebagai muallif  shalawat Wahidiyah, bukan sebagai mursyid (guru tarekat), sebab dalam Wahidiyah tidak ada istilah mursyid seperti dalam tarekat-tarekat pada umumnya atau dalam semua tarekat yang ada.
    Idealisme tasawuf yang dibawa oleh Wahidiyah diterjemahkan oleh muallif  kedalam bentuk amalan ritual yang praktis untuk disajikan kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, Wahidiyah dapat diakses kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja, tanpa prosedur kesilsilahan. Ini merupakan terobosan baru dalam dunia tasawuf dan tarekat, dimana  pada umumnya semua aliran tasawuf dan tarekat menyajikan sistem ajaran dan sistem amalan ritual yang ketat dan prosedural.
Dinamika historis Wahidiyah mengalami perkembangan yang signifikan pada saat sasaran jami’ al-‘alamin dan misi inklusivisme globalnya sedikit demi sedikit merambah ke berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Misi inklusivisme global ini bukanlah sasaran program Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf, melainkan merupakan substansi ajaran dan sifat keterbukaan dalam proses legalisasi pengamalnya. Muaranya adalah, dalam aliran ini tidak ada batas sebagaimana aliran-aliran tarekat umumnya; yang ada adalah model gethok tular yang dalam istilah komunikasi disebut multi step flow coomunication, yaitu model penyebaran berantai; setiap pengamal Wahidiyah diberi hak untuk menyebarkan substansi, termasuk rangkaian zikir atau sistem amalan (awrad) dan ajaran shalawat tersebut kepada orang lain tanpa proses baiat. Oleh karena itu, banyak tokoh sepuh NU, penganut aliran-aliran Islam, pejabat negara, bahkan kalangan bromocorah menjadi pengamal shalawat ini.
Buku ini memberikan sumbangsi dialogis dan wawasan ilmiah yang analitis, deskriptif dan komprehensif mengenai fenomena Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf lokal. Buku ini hadir untuk mengisi kelangkaan literatur tentang tarekat atau tasawuf yang bercorak lokal. Toh, realitasnya memang tidak banyak karya tulis tentang tarekat lokal dalam khazanah perbukuan Indonesia. Maka buku ini sangat bermanfaat bagi pengamal shalawat Wahidiyah, orang yang tertarik dengan dunia tasawuf dan juga kalangan akademisi yang tertarik dengan fenomena tasawuf seperti ajaran, ritual dan dimensi ketasawufannya sebagai pattern for behavior untuk dipahami dan dipraktikkan atau dialami oleh pengamalnya.
Readmore »