Minggu, 03 Januari 2010

Jurus Jitu Jual Parpol dan Kandidat


Judul        : Iklan Politik TV, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru
Penulis        : Akhmad Danial
Penerbit    : LKiS, Jogjakarta
Cetakan    : I (pertama), Februari 2009
Tebal Buku     : xxxiv + 264 Halaman
Peresensi    : Iqro’ Alfirdaus

Makin dekat pemilu, iklan partai politik, calon presiden dan anggota legislatif di televisi semakin marak ditayangkan seiring dengan maraknya industri televisi dan semangatnya partai untuk memenangi Pemilu 2009. Kini tidak ada batasan bagi media massa, khususnya televisi untuk menayangkan iklan politik.
Iklan politik melalui media televisi memang bukan hal yang baru lagi. Ia menunjukkan adanya modernisasi dalam kampanye politik sejak 10 tahun reformasi. Dan buku yang ditulis oleh Danial ini berupaya untuk membuktikan bahwa berpindahnya kampanye ’’dari jalan raya ke layar kaca’’ adalah fenomena modernisasi politik Indonesia pasca-reformasi. Lambat laun model kampanye politik Indonesia diyakini akan mewujud sempurna layaknya gaya kampanye Amerika Serikat.
Nyatapun, buku ini menjelaskan adanya Amerikanisasi politik di Indonesia. Sebab, mengacu kepada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa iklan politik televisi pertama kali dipakai dalam kampanye pemilu Amerika, yaitu pidato Presiden Truman pada 1948. Kemudian menjadi semakin populer sejak debat calon presiden pertama di televisi antara Kennedy dan Nixon pada 1960. Dan, sampai saat ini, menurut Pippa Norris (2000), sebagian besar praktik komunikasi politik di negara-negara non-Amerika ‘meminjam’ dari praktik yang lebih profesional di Amerika.
Namun demikian, Danial sebagai penulis buku ini juga menunjukkan bahwa, tidak sepenuhnya Indonesia ter-Amerikanisasi dalam hal berkampanye, sebab ciri khas lokal atau faktor internal seperti, peran sentral media, terutama televisi sebagai media kampanye tidak serta merta menafikan atau barangkali mendominasi kampanye jalanan dan pengerahan massa. Sebab, kecenderungan mindset akan kampanye dan pemilu adalah pesta hingga saat ini belum berubah di Indonesia.
Di era kejayaan media sekarang ini, media massa menjelma sebagai medan pertempuran utama kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan. Kalau dulu kekuatan partai diukur dari jumlah para pendukung yang ikut pawai berkampanye di jalanan, rapat umum atau pentas akbar, sekarang ukurannya adalah popularitas yang diperoleh dari tanggapan dan penilaian responden atas iklan dan berita politik di media massa.
Iklan politik tidak jauh berbeda dengan promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran atau konsumen tertentu. Hanya saja iklan politik lebih rumit daripada iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon.
Dalam kajian komunikasi politik, Danial menemukan fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Saat ini, hampir semua kampanye politik di negara-negara demokrasi bertumpu kepada kampanye lewat televisi. Indikasinya hampir seragam, yaitu  aktivitas kampanye dikemas sesuai dengan format televisi; porsi dana kampanye semakin besar; keterlibatan biro iklan atau konsultan politik dari luar partai; dan pemilu menjadi semacam kontes antar kandidat bukan lagi kontes antar partai.
Sejak pertama kali muncul di televisi tahun 1952, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Maka, penting untuk menyajikan iklan yang jujur dan mendidik, dengan informasi yang mencukupi bagi pemilih. Dengan demikian, iklan politik yang ada tidak hanya diarahkan untuk kepentingan praktis untuk meningkatkan popularitas kandidat dan kesadaran publik akan keberadaan kandidat tersebut, namun juga secara strategis mampu memberikan pendidikan politik yang etis, kritis, dan relevan dengan kepentingan dan situasi rakyat, terutama terkait dengan kebijakan publik yang ikut berdampak pada kehidupan masyarakat.
Hal penting adalah popularitas kandidat yang merupakan dampak dari iklan politik di media massa tidak otomatis menjamin elektabilitas atau keterpilihan kandidat yang bersangkutan. Iklan kampanye politik di media massa mungkin menimbulkan kesan terbiasa (familiarity) akan sosok yang diangkat.
Apa pun bentuk iklan politik yang digunakan dan disajikan oleh kandidat, akan lebih bermanfaat jika iklan tersebut diarahkan ke persaingan demokrasi yang sportif serta mendorong kreativitas pemenangan pemilu dalam meramu iklan yang mendidik dan relevan dengan kepentingan rakyat, serta membangun hubungan yang erat antara kandidat dan pemilihnya.
Hal ini menjadi tantangan  dan tugas bagi partai politik dan juga media massa untuk mampu menghasilkan model iklan kampanye politik yang tidak hanya menarik dan kreatif, namun juga mendidik dan memiliki pesan-pesan yang mudah dicerna publik serta memiliki keunikan, tidak hanya dari sosok kandidat yang diusung, namun juga isu yang diangkat.
Terkait dengan itu, sudah seharusnya liberalisasi politik sejak era reformasi 1998 yang  diikuti oleh persaingan politik harus sehat dan intens, mampu mendorong partai-partai untuk kritis dan kreatif dalam menampilkan image partai dan tokoh-tokohnya serta isu-isu prioritas yang diangkatnya dengan sisi yang unik dan berbeda dari partai-partai politik lain serta menyajikan pendidikan politik yang mencerahkan dan mampu mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihannya secara rasional.
Biar bagaimanapun, Iklan politik di televisi sangatlah penting menyedot perhatian pemirsa untuk mengenal, mempercayai seorang kandidat dari beberapa kandidat wakil rakyat hingga presiden, meskipun sejatinya tanpa iklan pun mereka akan tetap memilih partai atau kandidat yang mereka kultuskan. Dan buku ini hadir untuk meminimalisir tingkat golput di Indonesia, yaitu iklan-iklan politik televisi haruslah memiliki substansi, kritis, kreatif, jujur dan sehat agar membentuk komunikasi politk yang ideal terhadap rakyat atau masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar