Minggu, 10 Januari 2010

Dibalik Buku Membongkar Gurita Cikeas

Diskusi buku "Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century" karangan George Aditjondro, dapat berakhir fatal bagi demokrasi, jika buku tersebut dinilai sebagai fitnah dan dengan alasan tersebut penulisnya dimasukkan ke dalam sel. Nyatanya, buku tersebut mengundang masyarakat untuk mendiskusikan banyak hal berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Bagi para peneliti yang demen dengan data segudang, buku tersebut mungkin akan dipandang sebagai sampah, tetapi bagi mereka yang melihat betapa kuatnya orang-orang di sekitar lingkaran Cikeas, buku tersebut merupakan teks yang penting untuk memahami daya magis kekuasaan politik.

Daya tarik buku tersebut sudah tampak pada penataan halaman judulnya, yang tentu tidak pernah dibayangkan oleh penulisnya sendiri. Sama halnya dengan iklan, judul buku tersebut sudah membuka imajinasi masyarakat tentang betapa kuatnya sang pemilik kekuasaan di negeri ini. Gambaran figuratif ini tentu mengingatkan kita pada bagaimana penguasa-penguasa dunia di masa lampau memiliki potensi untuk itu. Kekuasaan memang cenderung koruptif.

Penggambaran semacam ini tidak akan ada dalam buku ilmiah menurut standar positivistik. Andaikan buku ini ditulis dengan standar tersebut, maka buku ini akan diisi dengan hal-hal yang tidak menarik minat publik. Bagi publik, metodologi yang menjadi kunci keberhasilan sebuah karya ilmiah seperti disertasi tidak penting. Begitu juga pengujian, apa lagi eksperimen, tidak perlu ada dalam buku ini.


Pemberontakan

Kecenderungan penulisan gaya George Aditjondro seperti itu dapat dilihat sebagai pemberontakan terhadap gagasan idealistik tentang ilmu sebagaimana dikembangkan banyak filsuf ilmu pengetahuan seperti David Bacon dan Charles S Peirce yang tekun membangun metodologi ilmiah. Gaya ini juga mengabaikan asumsi ilmiah yang dipegang teguh oleh para profesor kita di perguruan tinggi bahwa kebenaran hanya dapat dicapai dengan metodologi yang ketat dan pengujian empiris yang datanya tidak dapat diragukan lagi.

Namun, gaya penulisan buku yang cenderung populer ini bukan tanpa makna. Dengan mengabaikan data-data primer, gaya penulisan seperti ini justru dapat menerobos masuk ke dalam apa yang dialami dan dipikirkan masyarakat. Juga gaya ini pun dapat membuka diskusi seluas-luasnya sehingga masyarakat non-ilmiah pun dapat berbicara.

Sebagian ilmuwan pun menyadari hal tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan merupakan sebuah simbol bagi perkembangan budi yang pantas dipercaya, mereka semakin menyadari bahwa apa yang mereka kembangkan belum tentu menampilkan kebenaran. Kebenaran tidak menjadi monopoli ilmu pengetahuan, dan bahkan dapat berada di luar pertanggungjawaban metode-metode ilmiah. Di luar ilmu masih ada pengalaman seni, filsafat, dan sejarah yang tidak banyak peduli dengan metode ilmiah, namun terbuka pada pengalaman mengenai realitas.

Dengan memperhatikan respons masyarakat atas terbitnya buku Aditjondro, kita boleh berbangga bahwa kita sedang berada dalam suasana demokratis yang sangat kondusif. Lebih dari itu, kita sedang berada dalam jalan masing-masing untuk mengalami kebenaran. Mengamati bagaimana George Aditjondro berusaha membela bukunya, di tengah cercaan pada ilmuwan kita.


Tantangan Demokrasi

Ramainya diskusi atas buku George Aditjondro, hanyalah sebuah contoh tentang bagaimana opini dibangun dalam sebuah masyarakat demokratis dan bagaimana kita harus melihat kebenaran di balik argumentasi yang dikembangkan oleh pendapat yang berbeda-beda. L Wilardjo dalam opininya yang berjudul "Feyerabend von Jombang" (Kompas, 5 Januari 2010) dapat memberikan inspirasi kepada kita tentang hal ini. Jika kita benar-benar manusia demokrat kita tidak perlu kebakaran jenggot. Masyarakat demokratis hidup dari kebebasan berpendapat. Kegagalan negara totaliter justru terletak di sini.

Dengan cara lain mau dikatakan di sini bahwa masyarakat demokratis selalu didukung oleh kebiasaan untuk berpikir dengan akal sehat. Dalam perspektif local wisdom orang Flores sering dikatakan: "Jika tersinggung berarti kena". Artinya, jika reaksi kita menggebu-gebu, kita adalah orang pertama yang salah. Karena itu, menurut kebijaksanaan lokal tersebut, yang harus dipersoalkan bukanlah apa yang dikatakan tetapi apa yang dilakukan.

Tentu, pengalaman dan kesadaran publik tidaklah pernah memiliki kata akhir. Karena itu, seorang seorang demokrat pun tidak harus terbawa arus pada apa yang dikatakan publik. Pengalaman seni, filosofis, dan historis pun harus tunduk pada pertanyaan-pertanyaan kritis. Kita perlu bertanya dengan pikiran cerdas dan hati sejuk apakah proses intelektual yang dibangun di atas basis pengalaman dan kesadaran publik sebagaimana dilakukan oleh George Aditjondro dapat membangun sebuah masyarakat yang bertanggung jawab?

Saya sendiri perpendapat bahwa demokrasi dapat menumbuhkan sebuah masyarakat yang lebih bertanggung jawab jika 2 hal berikut benar-benar ada. Dua hal yang saya maksud adalah kebebasan berpendapat dan mutual control di antara warga sendiri. Dan dialog memuat kedua hal tersebut.
 
(Sumber: Suara Pembaruan) 

0 komentar:

Posting Komentar