Rabu, 13 Januari 2010

Kiat Memberantas Mafia Peradilan

Upaya memerangi dan memberantas praktik mafia peradilan tidaklah semudah yang diucapkan karena menyangkut persoalan-persoalan yang kompleks dan ruwet. Program pemberantasan mafia peradilan hanya bisa berhasil jika ada reformasi birokrasi (institusi) dan sistem peradilan secara umum. Merupakan suatu hal yang keliru apabila ada pemikiran bahwa praktik mafia peradilan dapat diberantas dalam waktu singkat, karena sesungguhnya seperti korupsi dan penyakit masyarakat lainnya, yaitu seperti kemiskinan, pengangguran, judi, dan pelacuran tidak bisa diberantas sampai ke titik nol dalam waktu singkat.

Namun, apa yang diharapkan masyarakat adalah mengurangi praktik mafia peradilan sampai ke tingkat yang rendah, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada kinerja lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan.

Agar tidak utopis, maka program pemberantasan mafia peradilan haruslah bersifat menyeluruh dan dilakukan secara konsisten dengan melihat akar permasalahan terjadinya praktik mafia peradilan yang marak dalam sistem peradilan kita. Tindakan yang menyebabkan lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan tidak independen adalah perilaku para pencari keadilan dan kuasa hukum atau advokat yang mempengaruhi para penegak hukum termasuk hakim, untuk memenangkan perkara mereka.

Sesungguhnya kalau saja para penegak hukum termasuk hakim menolak dipengaruhi dengan cara apa pun, termasuk suap, janji-janji, hadiah dan sebagainya, maka praktek mafia peradilan tidak dapat terjadi. Sebenarnya ICJ (International Commission of Justice) sudah memutuskan praktik mafia peradilan sebagai Judicial Corruption, yang kemudian diadoptir oleh IBA (International Bar Association) dalam biannual meeting di Amsterdam tahun 2000. Tiga puluh ahli hukum dari seluruh dunia berkumpul di Geneva merumuskan Judicial Corruption, yang intinya berarti segala perbuatan, sikap dan perilaku yang menyebabkan lembaga peradilan tidak independen dan imparsial, termasuk suap, janji-janji, promosi, gratifikasi, pemakaian fasilitas umum secara keliru, penyalahgunaan wewenang, kolusi antara hakim, advokat, dan seterusnya.

Namun, daya tolak para penegak hukum termasuk hakim di Indonesia sangat lemah dengan berbagai alasan, seperti rendahnya moralitas, integritas, kredibilitas, dedikasi, profesionalisme, kompetensi, gaji, tunjangan sosial, dan dana operasional serta sistem rekrutmen dan pelatihan yang masih kental dengan unsur KKN. Akibatnya, mereka mudah terpancing untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dan mengikuti apa yang diminta atau dipesan oleh para pencari keadilan.


Rekomendasi KHN

Intervensi ekonomi dan politik paling menonjol sebagaimana dinyatakan dalam rekomendasi KHN (Komisi Hukum Nasional). Rekomendasi ini berdasarkan penelitian pemberitaan media yang dilakukan oleh Komnas HAM pada Maret 2003-Maret 2004. Adapun penyalahgunaan wewenang (abuse of power) para penegak hukum termasuk hakim, terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu Lemahnya sistem pengawasan dan minimnya anggaran, baik untuk kesejahteraan aparatur maupun operasional penegakan hukum.

Kedua hal tersebut menjadi masalah serius di tubuh lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Belum lagi faktor pencari keadilan yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara melalui cara seperti praktek suap, pemberian janji-janji, hadiah, kemudahan, kemewahan, kenyamanan dan memanfaatkan kelemahan para penegak hukum termasuk hakim. Oleh karena itu, lengkaplah semua unsur yang mendorong maraknya praktek mafia peradilan (Judicial Corruption).

Saat ini, sistem pengawasan di lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat sangat lemah dan tidak kredibel. Semangat korps sangat tinggi (spirit of the corps), sehingga mereka saling melindungi dan tidak objektif. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, Kompolnas dan Komisi Kejaksaan serta IKAHI lemah, tertutup dan tidak efisien, sehingga diperlukan pengawasan eksternal. KHN telah memberi rekomendasi di tahun 2003, untuk dibentuk "Lembaga Pengawas Pelaksanaan Disiplin Profesi Hukum" yang mengawasi lembaga-lembaga penegak hukum dan mengembangkan "Standar Minimum Disiplin Profesi Hukum Indonesia". Adapun kewenangan dari lembaga ini bersifat "superbody" yang berfungsi sebagai "rule enforcing body" yang mengawasi penegakan "Standar Minimum Disiplin profesi Hukum". Selain itu, juga berperan sebagai "rule enacting body" yang tugas dan fungsinya diatur sedemikian rupa, sehingga tidak melampaui kompetensi dewan-dewan kehormatan yang sudah ada di dalam masing-masing lembaga penegak hukum.

Pembentukan "Standar Minimum Disiplin Profesi Hukum" ini, didasarkan kepada pandangan bahwa aparat penegak hukum termasuk advokat memiliki kesamaan norma-norma moralitas. Paling tidak, itulah temuan dari penelitian dan kajian KHN di tahun 2002 yang menyimpulkan tingkat responsivitas dari dewan kehormatan hakim, jaksa, polisi dan advokat masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan suatu "superbody" yang dapat mengawasi perilaku para penegak hukum secara integral dan responsif.

Akhir kata, kiat memerangi dan memberantas mafia peradilan yang luhur ini jangan sampai gagal, sehingga diperlukan program jangka pendek dan jangka panjang yang jelas dengan memahami akar permasalahan kenapa sampai ada praktek mafia peradilan. Jangan sampai terjadi apa yang dikatakan dalam peribahasa lama "nafsu besar tenaga kurang". Semoga.

(Sumber: Suara Pembaruan)

0 komentar:

Posting Komentar