Minggu, 03 Januari 2010

Posisi Subtil Kasidah Burdah



Judul          : Burdah, Antara Kasidah, Mistis & Sejarah
Penulis       : Muhammad Adib
Penerbit      : Pustaka Pesantren Yogyakarta

Cetakan      : I (pertama), Mei 2009
Tebal Buku : xvi + 98 hlm

Harga         : Rp. 18.500,-
Peresensi  : Iqro’ Alfirdaus



Syair Burdah adalah salah satu karya paling fenomenal dan monumental dalam khazanah sastra Islam. Hebatnya, karya sastra Islam tersebut kemudian dilagukan menjadi kasidah Burdah yang sepadan dengan kasidah cinta rasul lain seperti Barzanji dan Diba’. Bahkan, ia banyak diterjemahkan kedalam berbagai bahasa seperti Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Indonesia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan Italia.
Terjemahan yang berharga dari syair itu kemudian diproduksi selama berabad-abad oleh negarawan dan teolog terkemuka, khususnya di Mesir Mamluk. Di India, syair Burdah dikembangkan dengan menyisipkan sendiri baris-baris sajak mereka sendiri sehingga menciptakan syair-syair berseloka yang panjang.
Ternyata, bukan saja orang Muslim yang tertarik terhadap Burdah, banyak para ilmuan Eropa juga berminat pada syair itu. Diantaranya, syair itu untuk pertama kali dicetak pada tahun 1761 di Leiden, Nederland. Kemudian seorang orientalis muda asal Jerman, Rosenzweig Schwannau pada 1824, menerjemahkan ke dalam prosa Jerman. Dan J.W. Redhouse asal Inggris menerbitkan versinya dalam sebuah buku yang dicetak secara pribadi.
Di Mesir, posisi Kasidah Burdah dalam sastra musik Arab dapat digolongkan ke dalam genre nasyid seperti nasihat-nasihat keagamaan (tawâshih dîniyyah), kasidah-kasidah keagamaan (qashâ’id dîniyyah), teks maulid (mawlid), teks doa (ibtihâlat), kisah-kisah keagamaan (qishshah dîniyyah), dzikir, dan lagu-lagu keagamaan (aghâny dîniyyah).
Syair Burdah ditulis dengan gaya klasik Arab yang isinya tentang sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad saw., pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan. Di Indonesia, kasidah Burdah menjadi sebuah syair yang sudah mendarah daging dengan tradisi pesantren dan hingga kini kerap dibacakan di sebagian pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Sehingga, ada sebagian orang yang menuduh telah terjadi pengkultusan yang berlebihan terhadap syair Burdah.
Maka buku karya Muhammad Adib ini memberikan solusi konstruktif dan sebuah legitimasi terhadap klaim tersebut. Buku ini ingin menempatkan kasidah Burdah dalam posisi yang tepat dan kritis-imparsial. Sebab, bagaimana pun Burdah adalah sebuah teks sastra biasa yang juga digubah oleh seorang sastrawan, seorang manusia biasa. Meskipun tidak dapat dipungkiri, kasidah Burdah merupakan tradisi yang diciptakan oleh kaum muslim sendiri, bahkan oleh suatu kelompok diyakini sebagai manifestasi ungkapan rasa cinta (mistis) yang mendalam terhadap Nabi Muhammad saw. dengan segala implikasinya.
Buku ini sengaja menawarkan “menu” lain yang lebih konstruktif terhadap apriori maupun antipati terhadap Burdah. Bagaimana seyogianya menyikapi secara kritis dan proporsional terhadap pembacaan Burdah yang telah menjamur dalam tradisi pesantren. Tidak menerimanya secara “buta” tetapi memiliki makna dan argumen filosofis atau historis dibaliknya. Dan, tidak menolaknya secara mentah-mentah atau sebaliknya, bersikap fanatik berlebihan. Meskipun, untuk mengkritisi sebuah tradisi memang membutuhkan sebuah keberanian disamping wacana luas dan pandangan yang bijak.


Al-Bushiri dan Pemikirannya
Syair Burdah ditulis oleh Al-Bushiri (1213-1296 M). Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Al-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan kepada Nabinya, tetapi ia juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslim.
Seperti pada bagian pertama buku ini, penulis lebih menyoroti sosok sang penggubah syair Burdah, Al-Bushiri. Dimana ia hidup pada masa transisi kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasti Mamalik Bahriyah. Pada masa itu, suhu pergolakan politik terus memanas, moralitas masyarakat merosot, para birokrat lebih memprioritaskan tahta dan kemewahan. Maka munculnya kasidah Burdah merupakan refleksi atas situasi politik, sosial, dan kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan nabi sebagai uswatun hasanah dan kembali kepada ajaran agama yang murni, yaitu al-Quran dan Hadits.
Al-Bushiri sendiri dilahirkan di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir. Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari al-Quran di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair di zamannya.
Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia mulanya bekerja sebagai translator naskah-naskah. Louis Ma’luf juga menyatakan demikian di dalam Kamus Munjibnya.
Sisi lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah dan tidak menyukai kemegahan duniawi. Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam deretan sufi-sufi mashur. Al-Bushiri dikenal tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya.
Sebagai lanjutan dari profil Al-Bushiri, bagian kedua buku ini lebih menyoroti syair burdah itu sendiri dan sejarahnya. Syair yang terdiri atas 160 buah tersebut ditulis dengan gaya bahasa yang menarik, lembut dan elegan.
Ternyata, ada sebab-sebab khusus dikarangnya Kasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi dengan maksud memohon syafaatnya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi dan Nabi mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.
Ide-ide Al-Bushiri dalam kasidah Burdah yang signifikan adalah untaian-untaian yang menggambarkan visi tentang pengendalian hawa nafsu. Dalam ajaran pengendalian hawa nafsu, Al-Bushiri menganjurkan agar kehendak hawa nafsu dibuang jauh-jauh, jangan dimanjakan dan dipertuankan bila tidak ingin disesatkan olehnya.
Selanjutnya, ajaran Imam Al-Bushiri yang terpenting adalah pujian kepada Nabi Muhammad saw. Ia menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia sebagai pelita yang menerangi dua alam: manusia dan jin.
Pujian Al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas hanya pada sifat dan kualitas pribadi, tetapi ia mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat terbesar dalam bentuk al-Quran. Al-Quran tidak lapuk oleh perubahan zaman, apalagi jika ditafsirkan dan dipahami secara arif dan kontekstual dengan berbekal pengetahuan yang mumpuni. Hikmah dan kandungan al-Quran memiliki relevansi yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal.

0 komentar:

Posting Komentar