Rabu, 13 Januari 2010

Gurita Korupsi dan Satgas Citra

Gurita korupsi terus berbiak yang semakin banyak melilit bagian tubuh negara - eksekutif, legislatif dan yudikatif - yang pasti ikut memerosotkan citra pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah merasa perlu memulihkan citra dan untuk itu dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum, seperti yang dijanjikan sebagai bagian dari program 100 hari, setelah meledak perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri yang didukung Kejaksaan Agung (Kejagung).

Beberapa kalangan membuat ungkapan buruk: "Indonesia adalah surga para koruptor." Mereka mengatakan, faktanya korupsi merajalela dan terus meluas, tapi kenyataannya orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kejahatan korupsi sangat sedikit yang dihukum. Artinya, banyak dari mereka yang diduga korupsi terus melenggang dengan bebas dan berkeliaran dengan riangnya tanpa terjangkau hukum. Mungkin karena para penegak hukumnya gagal menunaikan tugas yang diharapkan publik, atau malah penegak hukumnya justru menikmati hidup dalam "surga para koruptor."

Jika banyak penegak hukum terlibat dan menikmati korupsi, mereka bukan saja membangun "kerajaan mafia peradilan" bersama aparat kehakiman, bahkan lebih dari itu ikut beternak gurita korupsi. Dan, mereka yang diduga korupsi menemukan kawan seiring bersama penegak hukum dan kehakiman. Sehingga, tak mengherankan jika banyak terdakwa korupsi divonis bebas oleh pengadilan. Lenggang bebas terdakwa menjadi contoh buruk penegakan hukum dan pengadilan.

Memang ada banyak contoh bahwa terdakwa dihukum. Mereka diputus pengadilan untuk menjalani hukuman penjara, tapi kebanyakan termasuk ringan. Sejumlah orang yang kritis terhadap vonis perkara korupsi menyebut korupsi sebagai tindak pidana ringan (tipiring).

UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang terbuka bagi kejahatan korupsi, karena tak mengandung ketentuan pembuktian terbalik. Setiap pelaku tak dituntut untuk membuktikan sendiri dari mana kekayaannya didapat. Dan, laporan kekayaan pejabat pun hanya sekadar formalitas saja. Dapat disimpulkan, tak ada efek jera dalam penegakan hukum atas perkara korupsi. Kekayaan mereka pun tetap bisa disembunyikan. Apalagi joke yang tertuju pada sistem peradilan, "kasih uang habis perkara" (KUHP) terus memuat memori banyak orang. Dan dengan itu juga, gurita korupsi akan terus berbiak, menjalar dan menyebarkan pengaruhnya ke segala penjuru.

Tapi warisan Orde Baru yang tak lekang adalah memperlakukan bank-bank negara/pemerintah sebagai "sapi perahan". Jika di masa Soeharto dikenal dengan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 144,5 triliun, kini skandal aliran dana BI ke Bank Century Rp 7,6 triliun.


Satgas Citra


Seperti yang telah dikemukakan, citra pemerintah cenderung melorot gara-gara kekisruhan antar-penegak hukum. Sehingga, merasa membutuhkan pemolesan citra tersebut.

Pertama, kampanye pemerintah untuk "ganyang mafia hukum" diusung setelah perseteruan KPK dengan Mabes Polri-Kejagung terkait sangkaan pidana terhadap Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang membangkitkan keprihatinan banyak orang baik di Jakarta maupun sejumlah daerah, terutama ketika rekaman percakapan Anggodo diperdengarkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain kampanye itu, Presiden pun membentuk Tim Delapan. Tim ini menyerahkan hasil verifikasi dan akhirnya Presiden memberikan arahan agar kasus Bibit-Chandra dihentikan, tak dibawa ke pengadilan.

Kedua, meredanya kasus Bibit-Chandra, tapi telah disusul dengan dugaan skandal Bank Century. Isu ini ibarat "bola panas" yang bergulir dan menghangatkan kembali wacana publik. Sembilan anggota DPR pun memobilisi dukungan untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki penyimpangan aliran dana ke Bank Century, dengan bekal audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Bergulirnya bola Century dari Senayan itu ternyata tak mendapatkan sikap terbuka dari sejumlah pejabat dan mantan pejabat di bidang keuangan, khususnya BI. Banyak dari mereka menjawab pertanyaan Pansus Century: tak ingat, lupa atau tak tahu. Pansus menghadapi taktik menutup diri pihak yang ditanyai.

Dalam momen politik seperti itulah Satgas anti mafia hukum dibentuk. Ia menghadapi kusutnya tali-temali birokrasi penegak hukum. Gurita korupsi di tubuh penegak hukum ini telah menumbuhkan makelar kasus (markus) untuk mengiringinya. Karena pengiring, markus bukanlah yang pokok.

Pembentukan Satgas berarti ada keadaan darurat yang membutuhkan tindakan segera. Bertindak segera, dibutuhkan wewenang yang kuat dan independen, termasuk mencopot dan menyeret pejabat atau pegawai yang terlibat mafia ke muka hukum. Tanpa itu, Satgas tak punya taring dan bisa dituding sebagai "satgas pencitraan".

Jika tujuannya adalah pencitraan, maka ia pasti menutupi realitas sebenarnya sistem peradilan dan aparatur yang menjalankannya. Dan ini juga bisa dituding menggunakan anggaran pemerintah demi kepentingan kelompoknya.
 
(Sumber: Suara Pembaruan)

0 komentar:

Posting Komentar