Rabu, 13 Januari 2010

Satgas Mafia Peradilan

Oleh Martin Hutabarat

Belum lama ini, pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) atau tim antimafia peradilan. Itu memang bisa menimbulkan secercah harapan bagi masyarakat akan adanya perubahan dalam penegakan hukum di negara kita, termasuk pemberantasan "makelar kasus" ("markus").
Tapi, penulis tidak terlalu optimistis dengan pembentukan tim tersebut. Mengapa? Sebab, itu hanya pengulangan terhadap tekad pemerintah lima tahun yang lalu. Lima tahun yang lalu, pemerintah sudah menyatakan akan memberantas habis mafia peradilan dan penegakan hukum yang akan dipimpin sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hasilnya apa? Lima tahun telah berlalu, tapi dalam program 100 hari ini rakyat tidak tahu apa hasilnya, kecuali hanya mendengar dan melihat di televisi dan media massa kasus Century, kasus KPK vs kepolisian dan kejaksaan, kasus Anggoro dan sebagainya. Padahal, pemerintahan periode kedua ini merupakan kesempatan bagi SBY untuk melanjutkan apa yang telah diprogramkan, terutama dalam penegakan hukum.
Kenyataannya tidak begitu. Apa yang dijanjikan lima tahun yang lalu itu sama sekali tidak ada buktinya. Malah sebaliknya, terjadi arogansi kekuasaan dan penginjak-injakan hukum serta meningkatnya "markus". Itulah yang ada di hadapan kita.
Kalau sekarang dibuat satgas-satgas lagi, apa artinya? Dipimpin Presiden SBY saja tidak berhasil, apalagi dipimpin satgas. Sebenarnya, kalau mau serius memberantas mafia peradilan dan memberantas korupsi, tanpa satgas pun bisa berjalan kalau seluruh aparat yang ada bekerja efektif. Dengan kata lain, bagaimana Presiden SBY memimpin kepolisian, memimpin kejaksaan dan aparat yang lain agar bekerja serius melakukan penegakan hukum yang benar.
Sebenarnya ini masalah iktikad (kemauan dan semangat) dan ketegasan untuk berbuat. Kalau sekadar membuat satgas, nanti kalau satgas ini tidak efektif, bisa saja dibuat satgas lagi. Kalau ini yang terjadi, itu hanya mengaburkan inti persoalan. Penegakan hukum di negara kita memang merupakan persoalan yang masih jauh, masih panjang.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga otonom adalah kehendak rakyat. Sebab, rakyat melihat aparat pemerintah yang ada-kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan lainnya-tidak efektif dalam menegakkan hukum.
Pada saat KPK menangkap gubernur-gubernur, pejabat eselon I, mantan menteri, para pengusaha, dan para elite politik, tidak terlalu ada perlawanan. Tapi, begitu KPK menyentuh aparat penyidik yang lain, maka ada perlawanan terhadap KPK. Ini salah satu yang menunjukkan bahwa ternyata sindikat dan mafia peradilan tidak independen, tapi saling tergantung dengan kekuasaan yang ada.
Ke depan, KPK harus terus kita dukung untuk melakukan tugasnya memberantas korupsi. Kita tidak ingin KPK diintervensi pemerintah. Sekarang ini ada kesan satgas-satgas yang dibentuk pemerintah ini mau mengintervensi KPK. Satgas itu aparat pemerintah, jadi tidak perlu mengoordinasi kegiatan KPK. Jangan sampai satgas itu memosisikan diri seolah-olah mau mengoordinasi kegiatan-kegiatan KPK. Satgas atau tim penegakan hukum itu bisa bekerja dengan aparat pemerintah untuk memberantas mafia peradilan, tanpa harus mengintervensi KPK.
Adanya koordinasi di antara aparat penegak hukum ini baik. Tapi, ada juga kelemahannya kalau ini menjadi alat untuk memilah-milah mana yang perlu diusut dan mana yang tidak. Satgas harus berfokus pada upaya mengektifkan aparatus institusi hukum yang ada, termasuk di peradilan, tempat bersarangnya "markus".
Kalau kita mau memberantas "markus", salah satu yang paling penting, perhatian kita harus terfokus pada lembaga peradilan. Lembaga peradilan harus objektif dalam mengatur perkara, sejak penyidikan sampai penuntutan. Masyarakat ingin melihat bahwa titik akhir pengadilan itu objektif. Tapi, karena mata rantai ini semua saling berhubungan dan para "markus" berperan, maka terjadilah mafia peradilan.
Tahun 2010 ini penulis tidak terlalu optimistis akan ada perubahan yang signifikan dalam penegakan hukum. Retorika masih akan banyak kita lihat. Satu-satunya harapan kita adalah tingkat kesadaran masyarakat, termasuk pers, untuk melakukan kontrol terhadap penegakan hukum. Tapi, pers juga harus objektif, jangan mandul karena ada pesan sponsor. Televisi yang "terkontaminasi" oleh kasus Century, misalnya, tidak akan mendapat simpati dari publik.
Sebenarnya, debat-debat di televisi itu sangat positif, bisa mencerdaskan masyarakat. Itu pula yang mendorong munculnya reaksi penolakan terhadap rekayasa Bibit-Chandra (KPK). Munculnya pembentukan opini publik itu merupakan hasil dari diskusi-diskusi di media massa. Facebooker, misalnya, ke depan akan menjadi fenomena baru.
Kasus Century ini menjadi soal yang berkepanjangan. Ini cermin ketidakmampuan dan ketidakberanian pemerintah untuk menyatakan, "Sayalah yang bertanggung jawab dalam hal ini." Kalau sejak awak Presiden SBY menyatakan, "Ini adalah pembantu-pembantu saya yang mau berusaha untuk menyelamatkan keadaan ekonomi negara. Sayalah yang bertanggung jawab," maka kasus Century tidak akan berkepanjangan seperti sekarang ini. Bagi masyarakat, pemimpin itu ya seperti itu: mempunyai keberanian untuk mengambil sikap dan bertanggung jawab.
Dalam soal mobil mewah, misalnya, tidak perlu Presiden SBY mengatakan tidak tahu soal mobil mewah. Orang jadi tertawa mendengarnya karena ada yang aneh dalam pemerintahan ini. Seharusnya Presiden SBY cukup memanggil (kalau dia tidak tahu) pihak yang terkait agar itu tidak dilakukan. Kemudian, juru bicara Presiden SBY menjelaskan bahwa itu tidak pantas dilakukan pada saat rakyat sedang sulit.
Mestinya, dalam 100 hari ini rakyat disadarkan bahwa ada bahaya jika kita tidak siap menghadapi perdagangan bebas dengan China (AFTA-CAFTA). Tapi, Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian tidak pernah mempersiapkan perdagangan dan dunia industri kita menghadapi masalah ini. Kalau bulan depan barang-barang China membanjiri pasar kita, habislah kita. Jumlah penganggur akan makin meningkat.
Energi kita terkuras habis untuk soal "cicak vs buaya" dan Century karena ketidaktegasan pemimpin bangsa ini. Ini indikasi bahwa pemerintah tidak mengetahui apa yang seharusnya menjadi prioritas, yang harus dijadikan isu dalam kehidupan politik, dan menjadi motivasi untuk meningkatkan pembangunan.
 
(Sumber: Suara Karya)
Readmore »

Delik Prahara Pemenjaraan Artalyta

  • Oleh Muh Khamdan
KEGUNCANGAN politik pemenjaraan di Indonesia kini sedang terjadi. Artalyta Suryani alias Ayin, ternyata bisa menikmati fasilitas mewah di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu Jakarta Timur. Penghakiman publik pun mulai mengarah agar terjadi perbaikan dalam sistem pemenjaraan yang selama ini dianggap tertutup menjadi terbuka.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar akhirnya turun tangan lewat inspeksi mendadak (sidak) di beberapa rutan dan lembaga pemasyarakatan (LP). Langkahnya itu kemudian diikuti oleh personel Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. 

Satgas Antimafia Hukum, sebutan lain untuk satuan tugas itu,  sudah memperoleh banyak informasi bahwa ada ”istana” di dalam penjara yang diduga mengarah pada permainan uang antara narapidana dan oknum petugas rutan dan LP. Maka, secara sekilas pembuktian akumulasi informasi itupun terjadi bahwa di balik ketertutupan tersimpan rahasia besar adanya fasilitas khusus bagi narapidana yang diistimewakan sebagaimana di Rutan Pondok Bambu.

Ada beberapa aspek realitas ketidakadilan di seputar ramainya pemberitaan media tentang dugaan kastanisasi narapidana oleh petugas rutan dan LP. Pertama, kasus ramainya pemberitaan Rutan Pondok Bambu yang telah dominan merebut perhatian publik, pada saat yang sama justru menunjukkan adanya sistem penganggaran dan kebijakan turun-temurun yang tidak memedulikan realitas buruknya keadaan fisik dan keadaan sosial penjara.
Tanpa disadari, keterbukaan akses dunia luar masuk ke dalam penjara pada akhirnya akan membenarkan bahwa keadaan over capacity dan minimnya anggaran untuk biaya hidup narapidana harus diperbaiki.

Kedua, kasus ramainya pemberitaan yang cenderung mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa fasilitas tertentu dapat dinikmati oleh sekelumit narapidana atau tahanan, akan mengarahkan pada perlunya rumusan standar bangunan yang layak secara kemanusiaan terhadap penghuninya. Realitas itu selalu sangat multidimensional karena lingkungan fisik yang buruk jelas akan memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang.

Artinya, jika fasilitas buruk yang selama ini bertahan di penjara dan dikontraskan adanya ruangan ”hotel”, tentu pihak LP atau rutan berupaya menghadirkan sisi-sisi lain untuk membantu narapidana atau tahanan keluar dari keadaan ketertekanan dan kehidupan yang lebih sehat. Dari sinilah delik prahara kepentingan bermain.

Kita saat ini melihat betapa banyak perbedaan antara idealita dan realita yang berlangsung dalam bangunan sistem pemenjaraan. Kasus tertembaknya sipir penjara yang disusul dengan kaburnya narapidana dari LP Sukamiskin, Bandung, Minggu, Desember 2009, mengagetkan banyak kalangan. Kenyataan ini pada akhirnya menjadi contoh bahwa hampir di semua LP dan rutan di Indonesia, tekanan lingkungan baik fisik maupun sosial menjadi hal yang sangat memengaruhi napi dan tahanan untuk kabur. Pada sisi lain sistem pengamanan tidak berjalan maksimal karena terkendala anggaran dan prosedur.

Hal ini sebagaimana studi Jencks dan Mayer, The Social Consequences of Growing Up in A Poor Neighborhood (1990) yang menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang erat antara kriminalitas dan lingkungan fisik yang buruk karena menyangkut penurunan tingkat kesehatan mental bahwa tidak ada kebermaknaan hidup yang dirasakan. Ketidakbermaknaan tersebut misalnya diungkapkan oleh Menkumham bahwa  napi dan tahanan bagaikan ikan sepat yang dipaksa menghuni ruangan sempit, jangankan tidur, untuk berbaring juga susah.

Dalam kebeningan pikiran dan nurani, setiap manusia terlahirkan dalam keadaan yang suci. Keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang kiranya memiliki peran menjadikan adanya perubahan potensi menjadi buruk. Hal demikian menjadi salah satu ciri terpenting peradaban agama-agama dalam memberikan perhatiannya terhadap penghargaan hak-hak asasi manusia, melalui peningkatan kualitas diri manusia berupa tradisi keagamaan.

Berdasarkan filsafat Pancasila dan karakteristik masyarakat Indonesia yang berketuhanan, sangat dimungkinkan mobilisasi ritual keberagamaan di dalam LP dan rutan adalah representasi pembumian aspek kemanusian yang adil dan beradab sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Suatu perubahan orientasi politik pemenjaraan dari sistem hukuman berubah menjadi sistem pemasyarakatan bernuansa pembinaan.

Karena itu, kini berkembang sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (community-based corrections). hal itu sekaligus menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan dan tentunya dapat didukung dengan terjalinnya skema kerja sama sekaligus lahirnya legal formal mengenai sistem pemsyarakatan Indonesia (sipasindo) yang membutuhkan hubungan mutualisme antara narapidana, petugas, dan masyarakat. Hal ini guna mengimbangi muatan moralis dan agamais serta keterampilan hidup bagi narapidana karena cetak biru  kelahiran sistem pemasyarakatan, 27 April1964, adalah mencerdasakan kehidupan bangsa serta menyebarkan perdamaian sosial dan lingkungan dalam ide pengayoman.

Sintesis antara kebermaknaan hidup bagi narapidana dengan politik pemenjaraan demikian memiliki persamaan langkah atas lebih dulunya para narapidana dan tahanan bisa kuliah sebagaimana LP Kelas 1 Cipinang Jakarta yang telah membuka Fakultas Hukum, bekerja sama dengan Universitas Bung Karno.

Bahkan setidaknya hampir semua LP telah memiliki sekolah pembinaan. Sekolah ini terselenggara hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkumham dan  Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, yang disebut dengan program kegiatan belajar mengajar (PKBM) bagi narapidana. Namun proses yang tanpa pengawasan masyarakat karena pola ketertutupan politik pemenjaraan menjadikan program tersebut jalan di tempat.

Pidana penjara dimaksudkan agar pelaku tindak kriminalitas pidana menyadari kesalahan dan memperbaiki diri agar kembali menjadi manusia yang baik. Di sinilah terjadi kesesuaian antara model pembinaan politik pemenjaraan nasional dan konsep tobat. Karena tobat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa secara teologi. Tobat  dalam pandangan Islam misalnya, berarti rujuí atau kembali pada perbuatan-perbuatan yang baik atau lebih baik. Dalam sistem pemasyarakatan berarti mampu berinteraksi kembali dengan masyarakat setelah melaksanakan tuntutan keadilan.

Jika dilihat dari dari sudut ini, sangat ironis kenyataan interaksi sosial yang terbangun di masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap bekas narapidana atau tahanan. Ketiadaan dukungan sosial pada akhirnya menciptakan stress-full yang membuat terasingnya bekas narapidana untuk mengubah diri, yang justru akan berimplikasi negatif dalam melakukan tindakan kriminal agresif.

Tindakan agresif ini dapat dipengaruhi dua faktor dominan, yaitu karena naluri alamiah mencari kebermaknaan diri atas orang lain yang tidak ditemukan dan faktor situasional yang mendukung adanya penguatan (reinforcement) atas tindakan agresif tersebut. Sehingga sering ditemukan narapidana yang langganan keluar masuk penjara.

Mengacu pada landasan tersebut, memasukkan internalisasi kebermaknaan narapidana di tengah lingkungan sosialnya menjadi tugas berat instansi Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Pemasyarakatan. Perlu dipikirkan bagaimana menghilangkan suasana ketertekanan dengan diimbangi adanya proses pembinaan yang terintegralistik antara keterampilan dan nuansa keagamaan.

Paling tidak, realita îkeistimewaanî yang terjadi di Rutan Pondok Bambu adalah bagian dari upaya menghilangkan ketertekanan hidup narapidana secara sosial kendati belum didukung formula yang tepat sehingga dianggap sebagai penyimpangan.

(Sumber: Suara Merdeka)
Readmore »

Kiat Memberantas Mafia Peradilan

Upaya memerangi dan memberantas praktik mafia peradilan tidaklah semudah yang diucapkan karena menyangkut persoalan-persoalan yang kompleks dan ruwet. Program pemberantasan mafia peradilan hanya bisa berhasil jika ada reformasi birokrasi (institusi) dan sistem peradilan secara umum. Merupakan suatu hal yang keliru apabila ada pemikiran bahwa praktik mafia peradilan dapat diberantas dalam waktu singkat, karena sesungguhnya seperti korupsi dan penyakit masyarakat lainnya, yaitu seperti kemiskinan, pengangguran, judi, dan pelacuran tidak bisa diberantas sampai ke titik nol dalam waktu singkat.

Namun, apa yang diharapkan masyarakat adalah mengurangi praktik mafia peradilan sampai ke tingkat yang rendah, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada kinerja lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan.

Agar tidak utopis, maka program pemberantasan mafia peradilan haruslah bersifat menyeluruh dan dilakukan secara konsisten dengan melihat akar permasalahan terjadinya praktik mafia peradilan yang marak dalam sistem peradilan kita. Tindakan yang menyebabkan lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan tidak independen adalah perilaku para pencari keadilan dan kuasa hukum atau advokat yang mempengaruhi para penegak hukum termasuk hakim, untuk memenangkan perkara mereka.

Sesungguhnya kalau saja para penegak hukum termasuk hakim menolak dipengaruhi dengan cara apa pun, termasuk suap, janji-janji, hadiah dan sebagainya, maka praktek mafia peradilan tidak dapat terjadi. Sebenarnya ICJ (International Commission of Justice) sudah memutuskan praktik mafia peradilan sebagai Judicial Corruption, yang kemudian diadoptir oleh IBA (International Bar Association) dalam biannual meeting di Amsterdam tahun 2000. Tiga puluh ahli hukum dari seluruh dunia berkumpul di Geneva merumuskan Judicial Corruption, yang intinya berarti segala perbuatan, sikap dan perilaku yang menyebabkan lembaga peradilan tidak independen dan imparsial, termasuk suap, janji-janji, promosi, gratifikasi, pemakaian fasilitas umum secara keliru, penyalahgunaan wewenang, kolusi antara hakim, advokat, dan seterusnya.

Namun, daya tolak para penegak hukum termasuk hakim di Indonesia sangat lemah dengan berbagai alasan, seperti rendahnya moralitas, integritas, kredibilitas, dedikasi, profesionalisme, kompetensi, gaji, tunjangan sosial, dan dana operasional serta sistem rekrutmen dan pelatihan yang masih kental dengan unsur KKN. Akibatnya, mereka mudah terpancing untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dan mengikuti apa yang diminta atau dipesan oleh para pencari keadilan.


Rekomendasi KHN

Intervensi ekonomi dan politik paling menonjol sebagaimana dinyatakan dalam rekomendasi KHN (Komisi Hukum Nasional). Rekomendasi ini berdasarkan penelitian pemberitaan media yang dilakukan oleh Komnas HAM pada Maret 2003-Maret 2004. Adapun penyalahgunaan wewenang (abuse of power) para penegak hukum termasuk hakim, terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu Lemahnya sistem pengawasan dan minimnya anggaran, baik untuk kesejahteraan aparatur maupun operasional penegakan hukum.

Kedua hal tersebut menjadi masalah serius di tubuh lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Belum lagi faktor pencari keadilan yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara melalui cara seperti praktek suap, pemberian janji-janji, hadiah, kemudahan, kemewahan, kenyamanan dan memanfaatkan kelemahan para penegak hukum termasuk hakim. Oleh karena itu, lengkaplah semua unsur yang mendorong maraknya praktek mafia peradilan (Judicial Corruption).

Saat ini, sistem pengawasan di lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat sangat lemah dan tidak kredibel. Semangat korps sangat tinggi (spirit of the corps), sehingga mereka saling melindungi dan tidak objektif. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, Kompolnas dan Komisi Kejaksaan serta IKAHI lemah, tertutup dan tidak efisien, sehingga diperlukan pengawasan eksternal. KHN telah memberi rekomendasi di tahun 2003, untuk dibentuk "Lembaga Pengawas Pelaksanaan Disiplin Profesi Hukum" yang mengawasi lembaga-lembaga penegak hukum dan mengembangkan "Standar Minimum Disiplin Profesi Hukum Indonesia". Adapun kewenangan dari lembaga ini bersifat "superbody" yang berfungsi sebagai "rule enforcing body" yang mengawasi penegakan "Standar Minimum Disiplin profesi Hukum". Selain itu, juga berperan sebagai "rule enacting body" yang tugas dan fungsinya diatur sedemikian rupa, sehingga tidak melampaui kompetensi dewan-dewan kehormatan yang sudah ada di dalam masing-masing lembaga penegak hukum.

Pembentukan "Standar Minimum Disiplin Profesi Hukum" ini, didasarkan kepada pandangan bahwa aparat penegak hukum termasuk advokat memiliki kesamaan norma-norma moralitas. Paling tidak, itulah temuan dari penelitian dan kajian KHN di tahun 2002 yang menyimpulkan tingkat responsivitas dari dewan kehormatan hakim, jaksa, polisi dan advokat masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan suatu "superbody" yang dapat mengawasi perilaku para penegak hukum secara integral dan responsif.

Akhir kata, kiat memerangi dan memberantas mafia peradilan yang luhur ini jangan sampai gagal, sehingga diperlukan program jangka pendek dan jangka panjang yang jelas dengan memahami akar permasalahan kenapa sampai ada praktek mafia peradilan. Jangan sampai terjadi apa yang dikatakan dalam peribahasa lama "nafsu besar tenaga kurang". Semoga.

(Sumber: Suara Pembaruan)
Readmore »

Gurita Korupsi dan Satgas Citra

Gurita korupsi terus berbiak yang semakin banyak melilit bagian tubuh negara - eksekutif, legislatif dan yudikatif - yang pasti ikut memerosotkan citra pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah merasa perlu memulihkan citra dan untuk itu dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum, seperti yang dijanjikan sebagai bagian dari program 100 hari, setelah meledak perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri yang didukung Kejaksaan Agung (Kejagung).

Beberapa kalangan membuat ungkapan buruk: "Indonesia adalah surga para koruptor." Mereka mengatakan, faktanya korupsi merajalela dan terus meluas, tapi kenyataannya orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kejahatan korupsi sangat sedikit yang dihukum. Artinya, banyak dari mereka yang diduga korupsi terus melenggang dengan bebas dan berkeliaran dengan riangnya tanpa terjangkau hukum. Mungkin karena para penegak hukumnya gagal menunaikan tugas yang diharapkan publik, atau malah penegak hukumnya justru menikmati hidup dalam "surga para koruptor."

Jika banyak penegak hukum terlibat dan menikmati korupsi, mereka bukan saja membangun "kerajaan mafia peradilan" bersama aparat kehakiman, bahkan lebih dari itu ikut beternak gurita korupsi. Dan, mereka yang diduga korupsi menemukan kawan seiring bersama penegak hukum dan kehakiman. Sehingga, tak mengherankan jika banyak terdakwa korupsi divonis bebas oleh pengadilan. Lenggang bebas terdakwa menjadi contoh buruk penegakan hukum dan pengadilan.

Memang ada banyak contoh bahwa terdakwa dihukum. Mereka diputus pengadilan untuk menjalani hukuman penjara, tapi kebanyakan termasuk ringan. Sejumlah orang yang kritis terhadap vonis perkara korupsi menyebut korupsi sebagai tindak pidana ringan (tipiring).

UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang terbuka bagi kejahatan korupsi, karena tak mengandung ketentuan pembuktian terbalik. Setiap pelaku tak dituntut untuk membuktikan sendiri dari mana kekayaannya didapat. Dan, laporan kekayaan pejabat pun hanya sekadar formalitas saja. Dapat disimpulkan, tak ada efek jera dalam penegakan hukum atas perkara korupsi. Kekayaan mereka pun tetap bisa disembunyikan. Apalagi joke yang tertuju pada sistem peradilan, "kasih uang habis perkara" (KUHP) terus memuat memori banyak orang. Dan dengan itu juga, gurita korupsi akan terus berbiak, menjalar dan menyebarkan pengaruhnya ke segala penjuru.

Tapi warisan Orde Baru yang tak lekang adalah memperlakukan bank-bank negara/pemerintah sebagai "sapi perahan". Jika di masa Soeharto dikenal dengan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 144,5 triliun, kini skandal aliran dana BI ke Bank Century Rp 7,6 triliun.


Satgas Citra


Seperti yang telah dikemukakan, citra pemerintah cenderung melorot gara-gara kekisruhan antar-penegak hukum. Sehingga, merasa membutuhkan pemolesan citra tersebut.

Pertama, kampanye pemerintah untuk "ganyang mafia hukum" diusung setelah perseteruan KPK dengan Mabes Polri-Kejagung terkait sangkaan pidana terhadap Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang membangkitkan keprihatinan banyak orang baik di Jakarta maupun sejumlah daerah, terutama ketika rekaman percakapan Anggodo diperdengarkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain kampanye itu, Presiden pun membentuk Tim Delapan. Tim ini menyerahkan hasil verifikasi dan akhirnya Presiden memberikan arahan agar kasus Bibit-Chandra dihentikan, tak dibawa ke pengadilan.

Kedua, meredanya kasus Bibit-Chandra, tapi telah disusul dengan dugaan skandal Bank Century. Isu ini ibarat "bola panas" yang bergulir dan menghangatkan kembali wacana publik. Sembilan anggota DPR pun memobilisi dukungan untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki penyimpangan aliran dana ke Bank Century, dengan bekal audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Bergulirnya bola Century dari Senayan itu ternyata tak mendapatkan sikap terbuka dari sejumlah pejabat dan mantan pejabat di bidang keuangan, khususnya BI. Banyak dari mereka menjawab pertanyaan Pansus Century: tak ingat, lupa atau tak tahu. Pansus menghadapi taktik menutup diri pihak yang ditanyai.

Dalam momen politik seperti itulah Satgas anti mafia hukum dibentuk. Ia menghadapi kusutnya tali-temali birokrasi penegak hukum. Gurita korupsi di tubuh penegak hukum ini telah menumbuhkan makelar kasus (markus) untuk mengiringinya. Karena pengiring, markus bukanlah yang pokok.

Pembentukan Satgas berarti ada keadaan darurat yang membutuhkan tindakan segera. Bertindak segera, dibutuhkan wewenang yang kuat dan independen, termasuk mencopot dan menyeret pejabat atau pegawai yang terlibat mafia ke muka hukum. Tanpa itu, Satgas tak punya taring dan bisa dituding sebagai "satgas pencitraan".

Jika tujuannya adalah pencitraan, maka ia pasti menutupi realitas sebenarnya sistem peradilan dan aparatur yang menjalankannya. Dan ini juga bisa dituding menggunakan anggaran pemerintah demi kepentingan kelompoknya.
 
(Sumber: Suara Pembaruan)
Readmore »

Minggu, 10 Januari 2010

Dibalik Buku Membongkar Gurita Cikeas

Diskusi buku "Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century" karangan George Aditjondro, dapat berakhir fatal bagi demokrasi, jika buku tersebut dinilai sebagai fitnah dan dengan alasan tersebut penulisnya dimasukkan ke dalam sel. Nyatanya, buku tersebut mengundang masyarakat untuk mendiskusikan banyak hal berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Bagi para peneliti yang demen dengan data segudang, buku tersebut mungkin akan dipandang sebagai sampah, tetapi bagi mereka yang melihat betapa kuatnya orang-orang di sekitar lingkaran Cikeas, buku tersebut merupakan teks yang penting untuk memahami daya magis kekuasaan politik.

Daya tarik buku tersebut sudah tampak pada penataan halaman judulnya, yang tentu tidak pernah dibayangkan oleh penulisnya sendiri. Sama halnya dengan iklan, judul buku tersebut sudah membuka imajinasi masyarakat tentang betapa kuatnya sang pemilik kekuasaan di negeri ini. Gambaran figuratif ini tentu mengingatkan kita pada bagaimana penguasa-penguasa dunia di masa lampau memiliki potensi untuk itu. Kekuasaan memang cenderung koruptif.

Penggambaran semacam ini tidak akan ada dalam buku ilmiah menurut standar positivistik. Andaikan buku ini ditulis dengan standar tersebut, maka buku ini akan diisi dengan hal-hal yang tidak menarik minat publik. Bagi publik, metodologi yang menjadi kunci keberhasilan sebuah karya ilmiah seperti disertasi tidak penting. Begitu juga pengujian, apa lagi eksperimen, tidak perlu ada dalam buku ini.


Pemberontakan

Kecenderungan penulisan gaya George Aditjondro seperti itu dapat dilihat sebagai pemberontakan terhadap gagasan idealistik tentang ilmu sebagaimana dikembangkan banyak filsuf ilmu pengetahuan seperti David Bacon dan Charles S Peirce yang tekun membangun metodologi ilmiah. Gaya ini juga mengabaikan asumsi ilmiah yang dipegang teguh oleh para profesor kita di perguruan tinggi bahwa kebenaran hanya dapat dicapai dengan metodologi yang ketat dan pengujian empiris yang datanya tidak dapat diragukan lagi.

Namun, gaya penulisan buku yang cenderung populer ini bukan tanpa makna. Dengan mengabaikan data-data primer, gaya penulisan seperti ini justru dapat menerobos masuk ke dalam apa yang dialami dan dipikirkan masyarakat. Juga gaya ini pun dapat membuka diskusi seluas-luasnya sehingga masyarakat non-ilmiah pun dapat berbicara.

Sebagian ilmuwan pun menyadari hal tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan merupakan sebuah simbol bagi perkembangan budi yang pantas dipercaya, mereka semakin menyadari bahwa apa yang mereka kembangkan belum tentu menampilkan kebenaran. Kebenaran tidak menjadi monopoli ilmu pengetahuan, dan bahkan dapat berada di luar pertanggungjawaban metode-metode ilmiah. Di luar ilmu masih ada pengalaman seni, filsafat, dan sejarah yang tidak banyak peduli dengan metode ilmiah, namun terbuka pada pengalaman mengenai realitas.

Dengan memperhatikan respons masyarakat atas terbitnya buku Aditjondro, kita boleh berbangga bahwa kita sedang berada dalam suasana demokratis yang sangat kondusif. Lebih dari itu, kita sedang berada dalam jalan masing-masing untuk mengalami kebenaran. Mengamati bagaimana George Aditjondro berusaha membela bukunya, di tengah cercaan pada ilmuwan kita.


Tantangan Demokrasi

Ramainya diskusi atas buku George Aditjondro, hanyalah sebuah contoh tentang bagaimana opini dibangun dalam sebuah masyarakat demokratis dan bagaimana kita harus melihat kebenaran di balik argumentasi yang dikembangkan oleh pendapat yang berbeda-beda. L Wilardjo dalam opininya yang berjudul "Feyerabend von Jombang" (Kompas, 5 Januari 2010) dapat memberikan inspirasi kepada kita tentang hal ini. Jika kita benar-benar manusia demokrat kita tidak perlu kebakaran jenggot. Masyarakat demokratis hidup dari kebebasan berpendapat. Kegagalan negara totaliter justru terletak di sini.

Dengan cara lain mau dikatakan di sini bahwa masyarakat demokratis selalu didukung oleh kebiasaan untuk berpikir dengan akal sehat. Dalam perspektif local wisdom orang Flores sering dikatakan: "Jika tersinggung berarti kena". Artinya, jika reaksi kita menggebu-gebu, kita adalah orang pertama yang salah. Karena itu, menurut kebijaksanaan lokal tersebut, yang harus dipersoalkan bukanlah apa yang dikatakan tetapi apa yang dilakukan.

Tentu, pengalaman dan kesadaran publik tidaklah pernah memiliki kata akhir. Karena itu, seorang seorang demokrat pun tidak harus terbawa arus pada apa yang dikatakan publik. Pengalaman seni, filosofis, dan historis pun harus tunduk pada pertanyaan-pertanyaan kritis. Kita perlu bertanya dengan pikiran cerdas dan hati sejuk apakah proses intelektual yang dibangun di atas basis pengalaman dan kesadaran publik sebagaimana dilakukan oleh George Aditjondro dapat membangun sebuah masyarakat yang bertanggung jawab?

Saya sendiri perpendapat bahwa demokrasi dapat menumbuhkan sebuah masyarakat yang lebih bertanggung jawab jika 2 hal berikut benar-benar ada. Dua hal yang saya maksud adalah kebebasan berpendapat dan mutual control di antara warga sendiri. Dan dialog memuat kedua hal tersebut.
 
(Sumber: Suara Pembaruan) 
Readmore »

Minggu, 03 Januari 2010

Jurus Jitu Jual Parpol dan Kandidat


Judul        : Iklan Politik TV, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru
Penulis        : Akhmad Danial
Penerbit    : LKiS, Jogjakarta
Cetakan    : I (pertama), Februari 2009
Tebal Buku     : xxxiv + 264 Halaman
Peresensi    : Iqro’ Alfirdaus

Makin dekat pemilu, iklan partai politik, calon presiden dan anggota legislatif di televisi semakin marak ditayangkan seiring dengan maraknya industri televisi dan semangatnya partai untuk memenangi Pemilu 2009. Kini tidak ada batasan bagi media massa, khususnya televisi untuk menayangkan iklan politik.
Iklan politik melalui media televisi memang bukan hal yang baru lagi. Ia menunjukkan adanya modernisasi dalam kampanye politik sejak 10 tahun reformasi. Dan buku yang ditulis oleh Danial ini berupaya untuk membuktikan bahwa berpindahnya kampanye ’’dari jalan raya ke layar kaca’’ adalah fenomena modernisasi politik Indonesia pasca-reformasi. Lambat laun model kampanye politik Indonesia diyakini akan mewujud sempurna layaknya gaya kampanye Amerika Serikat.
Nyatapun, buku ini menjelaskan adanya Amerikanisasi politik di Indonesia. Sebab, mengacu kepada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa iklan politik televisi pertama kali dipakai dalam kampanye pemilu Amerika, yaitu pidato Presiden Truman pada 1948. Kemudian menjadi semakin populer sejak debat calon presiden pertama di televisi antara Kennedy dan Nixon pada 1960. Dan, sampai saat ini, menurut Pippa Norris (2000), sebagian besar praktik komunikasi politik di negara-negara non-Amerika ‘meminjam’ dari praktik yang lebih profesional di Amerika.
Namun demikian, Danial sebagai penulis buku ini juga menunjukkan bahwa, tidak sepenuhnya Indonesia ter-Amerikanisasi dalam hal berkampanye, sebab ciri khas lokal atau faktor internal seperti, peran sentral media, terutama televisi sebagai media kampanye tidak serta merta menafikan atau barangkali mendominasi kampanye jalanan dan pengerahan massa. Sebab, kecenderungan mindset akan kampanye dan pemilu adalah pesta hingga saat ini belum berubah di Indonesia.
Di era kejayaan media sekarang ini, media massa menjelma sebagai medan pertempuran utama kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan. Kalau dulu kekuatan partai diukur dari jumlah para pendukung yang ikut pawai berkampanye di jalanan, rapat umum atau pentas akbar, sekarang ukurannya adalah popularitas yang diperoleh dari tanggapan dan penilaian responden atas iklan dan berita politik di media massa.
Iklan politik tidak jauh berbeda dengan promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran atau konsumen tertentu. Hanya saja iklan politik lebih rumit daripada iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon.
Dalam kajian komunikasi politik, Danial menemukan fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Saat ini, hampir semua kampanye politik di negara-negara demokrasi bertumpu kepada kampanye lewat televisi. Indikasinya hampir seragam, yaitu  aktivitas kampanye dikemas sesuai dengan format televisi; porsi dana kampanye semakin besar; keterlibatan biro iklan atau konsultan politik dari luar partai; dan pemilu menjadi semacam kontes antar kandidat bukan lagi kontes antar partai.
Sejak pertama kali muncul di televisi tahun 1952, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Maka, penting untuk menyajikan iklan yang jujur dan mendidik, dengan informasi yang mencukupi bagi pemilih. Dengan demikian, iklan politik yang ada tidak hanya diarahkan untuk kepentingan praktis untuk meningkatkan popularitas kandidat dan kesadaran publik akan keberadaan kandidat tersebut, namun juga secara strategis mampu memberikan pendidikan politik yang etis, kritis, dan relevan dengan kepentingan dan situasi rakyat, terutama terkait dengan kebijakan publik yang ikut berdampak pada kehidupan masyarakat.
Hal penting adalah popularitas kandidat yang merupakan dampak dari iklan politik di media massa tidak otomatis menjamin elektabilitas atau keterpilihan kandidat yang bersangkutan. Iklan kampanye politik di media massa mungkin menimbulkan kesan terbiasa (familiarity) akan sosok yang diangkat.
Apa pun bentuk iklan politik yang digunakan dan disajikan oleh kandidat, akan lebih bermanfaat jika iklan tersebut diarahkan ke persaingan demokrasi yang sportif serta mendorong kreativitas pemenangan pemilu dalam meramu iklan yang mendidik dan relevan dengan kepentingan rakyat, serta membangun hubungan yang erat antara kandidat dan pemilihnya.
Hal ini menjadi tantangan  dan tugas bagi partai politik dan juga media massa untuk mampu menghasilkan model iklan kampanye politik yang tidak hanya menarik dan kreatif, namun juga mendidik dan memiliki pesan-pesan yang mudah dicerna publik serta memiliki keunikan, tidak hanya dari sosok kandidat yang diusung, namun juga isu yang diangkat.
Terkait dengan itu, sudah seharusnya liberalisasi politik sejak era reformasi 1998 yang  diikuti oleh persaingan politik harus sehat dan intens, mampu mendorong partai-partai untuk kritis dan kreatif dalam menampilkan image partai dan tokoh-tokohnya serta isu-isu prioritas yang diangkatnya dengan sisi yang unik dan berbeda dari partai-partai politik lain serta menyajikan pendidikan politik yang mencerahkan dan mampu mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihannya secara rasional.
Biar bagaimanapun, Iklan politik di televisi sangatlah penting menyedot perhatian pemirsa untuk mengenal, mempercayai seorang kandidat dari beberapa kandidat wakil rakyat hingga presiden, meskipun sejatinya tanpa iklan pun mereka akan tetap memilih partai atau kandidat yang mereka kultuskan. Dan buku ini hadir untuk meminimalisir tingkat golput di Indonesia, yaitu iklan-iklan politik televisi haruslah memiliki substansi, kritis, kreatif, jujur dan sehat agar membentuk komunikasi politk yang ideal terhadap rakyat atau masyarakat.
Readmore »

Sang Revolusioner, Pembawa Bendera Islam



Judul Buku    : Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan
Penulis        : Dr. Munzir Hitami
Penerbit    : LKiS Yogyakarta
Cetakan    : I (pertama), Januari 2009
Tebal        : xii + 286 halaman
Peresensi    : Iqro’ Alfirdaus

Peradaban-peradaban, pemikiran, persepsi dan emosi muncul sejak manusia telahir ke dunia ini. Ketika manusia telah membentuk komunitas-komunitas atau suku-suku yang melahirkan sikap primordialitas dalam interaksi sosial, saat itulah mulai terbentuk kekuatan-kekuatan kejahatan, kedzaliman, kebodohan dan penindasan.
Maka kehadiran nabi sebagai utusan Tuhan dengan bekal kitab suci-Nya memiliki peran penting dalam hal ini. Mereka diberi wahyu dan dibebani tanggung jawab yang berat untuk menyerukan kebenaran dan untuk mengajak manusia agar bisa membedakan mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah) dan menyerukan amar makruf nahi munkar. Tidak hanya mengajak manusia untuk mengenal Tuhannya semata. Tetapi juga mengajak mereka untuk membaca sekaligus memahami akan kebesaran-Nya, misalnya, tentang alam semesta beserta isinya di muka bumi.
Seorang nabi adalah revolusioner, yang memadukan dua peran, yaitu peran sebagai seorang nabi yang menerima wahyu Ilahi yang dibimbing oleh kebenaran ilahiyah dan peran seorang revolusioner atau seorang pemberontak yang membawa perubahan-perubahan radikal dalam tatanan sosial yang sudah usang dan mentrasformasikannya ke model-model dan perilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan kebenaran wahyu.
Kisah para Rasul dalam al-Qur’an memang pada umumnya membangkitkan makna perubahan. Itulah mengapa penulis berkesimpulan bahwa kisah para Rasul dalam al-Qur’an itu merupakan agen perubahan pada sejarah umat manusia. Al-Qur’an sebagai kitab suci menerangkan betapa penting para rasul dalam mengubah suatu masyarakat bangsa dari masyarakat tribal tak bermoral menjadi masyarakat yang religius dan berakhlak mulia.
Buku Revolusi Sejarah Manusia karya Munzir Hitami ini mengkaji secara detail konsep perubahan umat manusia dalam Alquran dan peran penting para rasul sebagai agen perubahan (agent of change). Alquran, meskipun bukan kitab sejarah banyak memuat informasi mengenai dinamika revolusi umat manusia. Juga jatuh-bangunnya sebuah bangsa yang disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri. Alquran dengan caranya sendiri mewartakan bagaimana sebuah masyarakat atau bangsa mengalami kemajuan pada suatu masa, dan pada masa yang lain mengalami kehancuran.
Secara garis besar telaah tentang sejarah yang dapat digali dari al-Qur’an dapat digolongkan dua macam, yakni perubahan sebagai substansi dan perubahan sebagai fenomena. Perubahan yang pertama lebih mengenai hakikat dan bentuk perubahan, sedangkan yang kedua lebih sebagai gejala dalam perjalanan masyarakat manusia dari suatu umat, baik simbol-simbol, maupun dalam bentuk ajaran-ajaran normatif.
Perubahan umat manusia dalam al-Qur’an maupun dalam realitas empiris di alam dunia ini merupakan peran penting rasul sebagai agen perubahan. Kisah para rasul dalam al-qur’an dapat berfungsi sebagai peringatan (al-Ibrah) bagi umat manusia. Selain itu, kisah tersebut juga sebagai konfirmasi (al-Tashdiq) terhadap kitab-kitab terdahulu, sehingga dimaksudkan untuk memperjelas ajaran kebenaran yang dibawakannya.
Nabi-nabi seperti Musa, Isa al-Masih, dan Muhammad Saw. adalah pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman tatanan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Inilah salah satu bagian misi penting dan mulia yang dilakukan oleh para nabi, menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap sesama manusia.
Mereka berjuang dengan gigih dan gagah berani dan mereka membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang-orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahyul, kelemahan, dan ketidaksempurnaan yang diakibatkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi, dan nafsu kebendaan
Para rasul yang digambarkan dalam kisah al-Qur’an sebagai figur atau tokoh yang lahir dari umatnya adalah pencipta sejarah. Yaitu sebagai agen perubahan dalam sejarah yang terjadi pada kurun waktu di mana peran-peran individual atau pribadi masih dominan sesuai dengan zamannya. Pesan moral yang perlu dimunculkan dari kisah tersebut ialah masyarakat zaman sekarang dapat belajar untuk menangkap berbagai cerminan dibalik simbol-simbol pengalaman umat-umat itu yang pada hakikatnya tetap hidup sepanjang zaman sehingga orang dapat bertindak secara benar pada situasi yang mirip.
Gambaran tentang perubahan yang diperankan oleh para rasul dapat membantu manusia memaknai dan mengambil pesan moralnya dalam konteks kekinian. Kita harus belajar dari semangat kisah tersebut untuk mendiagnosa kompleksitas kehancuran dan kezaliman yang terjadi saat ini. Kita meski butuh sifat ketokohan, keteladanan, serta kepemimpinan yang ditunjukkan para rasul itu ketika mereka dengan caranya sendiri menyelesaikan cobaan, rintangan dan segala bentuk kerusakan lainnya.
Kisah rasul yang diangkat dalam al-Qur’an dimaksudkan agar para pembaca dapat merenungi dan menggugah ”suatu gerakan perubahan” yang terstruktur dan terencana. Semangat kisah dalam al-Qur’an adalah menciptakan suasana lahir dan  batin seseorang untuk melahirkan inspirasi futuristik dan inisiatif yang positif. Jatuh bangunnya suatu bangsa, sangat tergantung pada pergerakan pemimpin dan kaumnya, seperti halnya kisah para rasul dalam buku ini.
Readmore »